Sahabat
Edo. Anak
laki-laki berusia 8 tahun. Dia ditinggalkan ayahnya saat masih berusia 2 tahun,
dan 5 tahun kemudian ibunya meninggal karena kecelakaan. Dia diasuh neneknya
yang biasa Edo panggil Oma. Karena pendiam, Edo sedari kecil tidak mempunyai
teman. Anak seperti dirinya biasa disebut introvert. Tetapi, dia anak
yang pintar dan jenius.
Pada satu
minggu di pagi hari, Edo duduk di pinggir lapangan, dari jauh dia melihat
anak-anak yang sedang bermain bola. Tanpa dia sadar ternyata bola terlempar ke
pinggir dan berhenti di samping kakinya. Anak-anak yang bermain di lapangan
menunggu dirinya melempar bolanya, namun Edo yang tak terbiasa dilihat banyak
orang hanya diam saja.
Karena terlalu
lama, anak-anak itu mulai kesal dan marah. Lalu sekelompok anak berlri ke arah
Edo dan mulai mengeroyok anak itu dengan bertubi-tubi. Edo hanya bisa berusaha
melindungi kepalanya dengan tangannya.
“Woi! Kalau
berani satu-satu!” teriak seorang anak dengan badan gagah dan menarik anak-anak
yang mengeroyok Edo.
Anak-anak yang
melihat badan gagahnya langsung pergi sambil mengambil bola mereka. Edo bangun
sambil mengelus-elus badannya yang lumayan sakit semua. Anak yang menolongnya
tadi membantunya untuk bangun dan duduk Kembali.
Agak lama, Edo
hanya terdiam bahkan tidak memandang anak yang sudah menyelamatkannya tadi.
Anak itupun berinisiatif lebih dulu menegur dan menyodorkan sebuah ketapel pada
Edo.
“Aku Prabu. Kalo
ada yang ganggu, langsung ketapel saja!” katanya bersemangat sambil menyodorkan
sebuah ketapel dari kayu jambu klutuk, dengan 3 lapis karet pentil dan bantalan
kulit.
Edo yang dari
kecil susah berbicara hanya mengangguk lalu menerimanya. Menggenggamnya erat
sambil menunduk.
Kebetulan, saat
itu Oma Edo melewati lapangan itu dan dari kejauhan dia melihat Edo nampaknya
sedang berinteraksi dengan anak sebayanya. Dirinya merasa sangat Bahagia sebab
melihat cucunya itu akhirnya mempunyai teman.
………………
Hari
selanjutnya, yang biasanya Edo selalu pulang sekolah sendirian kali ini dia
berjalan bersama dengan Prabu, anak yang menolongnya kemarin. Meskipun tidak
mendapat respon, namun dengan sifatnya yang periang dan suka menolong Prabu
memilih untuk menemani Edo, khawatir jika anak-anak yang kemarin akan
mengganggunya.
Di pertengahan
jalan, tiba-tiba hujan turun cukup lebat. Prabu mengajak Edo untuk berteduh di
halte, namun Edo malah menarik tangan Prabu dan mengajaknya berlari
hujan-hujanan. Keduanya Nampak bersenang-senang denga napa yang mereka lakukan.
“Nanti kalo
udah gede jangan pisah ya” kata Prabu tiba-tiba.
“I-Iya” jawab
Edo.
……………………………
10 tahun
kemudian.
Bocah remaja
melompat tinggi memasukkan bola basket yang ia bawa. Dengan badan gagah dan
sedikit keringan yang memencar dari sela rambut wajahnya, remaja itu sangat
pantas menjadi idola. Dia tak lain adalah Prabu. Sorak sorai penonton begitu
semarak emmberikan semangat pada Prabu yang menjadi pemain andalan dalam
pertandingan tersebut.
Edo masih
mengerjakan ujiannya di bangku kuliyahnya. Karena remaja itu sangat pintar,
dengan cepat dia menyelesaikan ujiannya agar segera bisa melihat Prabu bermain.
Dengan tergesa Edo berlari menuju lapangan basket untuk menyaksikan sahabatnya yang
sedang bertanding. Meski menonton, namun nyatanya dia hanya berdiri melihat tanpa
menunjukkan ekspresi ataupun mengeluarkan suara sama sekali.
Seperti yang
semua orang tebak. Tim Prabu menang telak dan tentu saja Prabu yang menjadi pencetak
poin terbanyak dalam pertandingan itu. Prabu langsung berlari ke pinggir
lapangan dan menyapa Edo yang tentu saja terlihat sangat mencolok di antara penonton lainnya. Keduanya keluar
dan pulang beriringan lalu berpisah menuju rumah masing-masing.
Saat Edo
berlalu dan Prabu memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba Prabo dihadang ibunya
dengan wajah marah,
“Ibu kan sudah
bilang! Jangan main sama anak kurang waras itu! Kamu ini …”
Belum selesai
bicara, Prabu langsung memotongnya,
“Aku sudah gede,
bu. Sudah bisa membedakan teman yang baik dan jelek. Lagian Edo Cuma susah
ngomong, bukan gak waras!” ucapnya dengan nada agak tinggi.
Selesai berbicara
demikian, Prabu pun langsung meninggalkan ibunya dan berjalan menuju kamarnya.
………………………
Malamnya, tanpa
sepengetahun Prabu, ibunya pergi ke rumah Edo. Sesampainya di sana, ibu Prabu
langsung menggebrak pintu rumah,
“Mana orang tua
anak gak waras itu?!” teriak ibu Prabu dengan keras.
Pintu terbuka
pelan dan kepala Edo menyembul separo dari dalam,
“o-orang
tu-tuaku su-sudah gak a-ada, bu” ucap Edo dengan kalimat yang terbata-bata.
“Eh, kamuy a yang
Namanya Edo! Kamu jangan memanfaatkan anak saya ya!” bentak ibu Prabu dengan
suara lebih tinggi lagi “kamu berteman Cuma agar dijagain Prabu, kan?!!”
“Eng-enggak, bu”
jawab Edo.
Ibu Prabu
meraih tangan Edo yang masih memegangi pintu dan menariknya dengan kencang. Reflek,
Edo mendorong ibu Prabu hingga terjatuh. Dan dari kejauhan ternyata Prabu
melihat kejadian itu. Namun karena Prabu tidak tahu bagaimana awal kejadiannya
dari awal, ia pun marah dan kecewa denga napa yang sudah dilakukan Edo pada
ibunya.
Prabu mendekat
dan membopong ibunya untuk bangun,
“Kita gak usah
berteman!” ucap Prabu dengan matanya yang tajam.
Edo terdiam
saja, hanya berdiri dan melihat Prabu pergi dengan ibunya. Dalam hati remaja
itu dia menyesali perbuatannya meski itu bukan kesalahannya.
…………………….
Keesokan harinya.
Prabu mempunyai
jadwal pertandingan basket melawan tim yang lain. Dia langsung menuju ke
lapangan tanpa mencari Edo seperti sebelumnya. Permainan dimulai dan seperti
biasa, Prabu mendominasi bola dan berkali-kali mencetak poin. Penonton berjubel
dan bersorak untuk Prabu.
Pertandingan baru
berlangsung satu babak, namun di Tengah pertandingan saat mendribel bola menuju
ring lawan, tiba-tiba Prabu merasa pusing. Bolanya terlepas dari tangannya. Dan
tak lama kemudian tubuhnya terjatuh dan dia sudah tidak sadarkan diri.
Prabu langsung
dilarikan ke rumah sakit.
“Dengan
keluarga pasien?” tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD, dengan
stetoskop yang baru saja dilepasnya.
“Saya, dok”
Ibu Prabu
bangkit dari duduknya dan menghadap dokter dengan wajah cemas.
“Mohon maaf,
apakah anak ibu mempunyai Riwayat gagal ginjal?”
Ibu Prabu
tersentak, dan dengan wajah ketakutan dia menjawab dengan suara bergetar,
“A-Ayahnya, dok”
“Anak ibu
membutuhkan donor ginjal”
………………………….
Kabar Prabu yang ambruk di Tengah pertandingan
dan dilarikan ke rumah sakit dengan cepat menyebar ke seluruh lingkungan
kampus. Termasuk kabar tentang penyakit yang dideritanya.
Edo yang
mendengar kabar sahabat dari kecilnya itupun sangat bersedih. Dia pulang dan
langsung bersimpuh di pelukan Oma-nya. Oma yang memahami kesedihan cucunya itu
berusaha menenangkan. Dengan suara yang terbata-bata, Edo berusaha menyampaikan
apa yang dia rasakan kepada Omanya, satu-satunya orang yang selama ini selalu
bisa memahami dirinya. Oma menasehatinya untuk tenang dan mendoakan yang
terbaik untuk sahabatnya.
Tengah malam,
Edo terbangun dari tidurnya. Dia merenungs ebentar kemudian engambil pena dan
secarik kertas, lalu menulis surat untuk Prabu. Berharap dengan tulisannya itu
Prabu bisa memahami dengan bai kapa yang ingin dia sampaikan.
Keesokan harinya,
dengan menggenggam surat yang dia tulis tadi malam dia pamit untuk pergi
menjenguk Prabu di rumah sakit. Dia sudah memantapkan hatinya untuk memperbaiki
hubungannya dengan Prabu, satu-satunya sahabt yang dia miliki. Dengan senyum
kecil dia bergegas berlari menuju rumah sakit yang lokasinya kebetulan tidak
terlalu jauh dari komplek rumahnya.
Saat menyeberang
jalan, tanpa ia sadari truk dari arah selatan melaju dengan sangat kencang dan
tak terkendali. Suara ban terseret menderit dengan sangat keras. Asap dan debu
mengepul daris eluruh roda truk itu. Namun sudah terlambat. Edo yang tidak
sempat menghindar tertabrak dengan sangat keras hingga terseret beberapa meter
sampai akhirnya laju truk berhenti.
Darah hangat
merembes dari beberapa bagian tubuh Edo. Tubuh remaja itu meringkuk di Tengah aspal
jalan, dan sebelum kesadarannya benar-benar hilang dia menatap samar genggaman
tangannya,
“Prabu …”
Edo dilarikan
ke rumah sakit. Para perawat dengan cepat menanganinya dan mengehntikan pendarahannya.
Agak lama sampai keadaan Edo stabil, namun nampaknya luka dalamnya cukup serius.
Kebetulan, bangsal
Edo bersebelahan dengan Prabu. Keduanya sama-sama masih tidak sadarkan diri.
Oma dengan sabar menunggu di samping bangsal Edo dan terus menggenggam tangan
cucunya itu yang rupanya masih menggenggam erat secarik kertas. Dibukanya jemari
Edo dan kemudian membca isinya,
Dari bilik
samping, ibu Prabu sekilas melihat Edo dibawa masuk oleh perawat tadi. Dia menengoknya
dan melihat keadaan anak itu sedang kritis. Entah bagaimana, muncul ide di
benaknya untuk memanfaatkan anak itu demi menyelematkan anaknya sendiri.
Ibu Edo
mendekat dan masuk ke bilik Edo. Dia berdiri di samping Oma dan menyapanya. Dan
dengan tanpa basa-basi, dia meminta agar ginjal Edo didonorkan ke Prabu,
anaknya.
Oma menatapnya
dengan nanar,
“Sebelum kamu
meminta, cucu saya sudah memberikan” ucap Oma dengan suara bergetar.
Ibu Prabu
terhentak. Pupil matanya membesar seolah tidak percaya denga napa yang barusan
dia dengar. Oma menyodorkan secarik kertas yang sudah tercoret bercak darah. Surat
yang dibawa Edo. Diterimanya dan dibacanya dengan diam. Matanya mbrabak dan terasa
tertampar hebat. Ibu Prabu tidak tahu bagaimana cara meminta maaf pada Edo atas
semua perilakunya. Edo yang dicaci makinya sekarang malah mengorbankan nyawanya
demi anaknya.
…………………………
Pasca pemulihan
dari operasi, Prabu akhirnya membuka matanya. Setelah beberapa hari dokter
membolehkan Prabu pulang. Saat di gerbang, suster memanggil ibu Prabu,
“Bu, ini
barangnya ketinggalan…”
“Barang?”
“Titipan dari
keluarga pendonor…”
Ibu Prabu
menerimanya dan bergegas menyusul Prabu yang sudah naik kedalam mobil.
Di rumah, Prabu
duduk di sofa ruang tamu sendirian, dan ia melihat tas kertas kecil yang tadi diletakkan
ibunya di sampingnya. Isinya apa? Mungkin hanya makanan ringan dari ibunya. Diraihnya
remote tv dan menyalakannya. Kebetulan saluran Pendidikan dan nampaknya ada
pengumuman mahasiswa terbaik nasional.
Sembari menunggu
MC mengumumkan nama juara, iseng Prabu membuka tas kertas tadi. Dilihatnya,
ternyata isinya malah sebuah ketapel dan secarik kertas. Dia mengenali betul,
itu ketapel yang dulu dia berikan kepada Edo saat pertama kali bertemu. Lalu kertasnya,
ada bercak darah.
Suara dari tv,
“Peraih
mahasiswa terbaik nasional, Edo dari kampus MMI!”
Prabu seketika
mennegok ke arah tv. Sahabatnya menjadi mahasiswa terbaik! Akhirnya cita-cita
anak itu terwujud,
“Namun …” MC
yang lain menyahut dengan suara terpotong “Mahasiswa atas nama Edo tidak bisa
hadir bersama kita hari ini, sebab beberapa hari lalu dia meninggal dunia…”
Prabu terhentak.
Badannya kaku demi mendengar kalimat terakhir orang di tv itu,
“Iya, dan yang
luar biasa darinya, sebelum kematiannya dia sempat mendonorkan ginjalnya untuk
keselamatan pasien lain. Sungguh pemuda dengan hati yang sangat mulia..”
Sekali lagi
Prabu terhentak, bahkan lebih keras lagi. Cepat-cepat dibukanya kertas dengan
bercak darah tadi. Membacanya perbaris dengan mata sembab dan tangan bergetar
hebat.
“I give you
my heart. Kata ibuku, sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi
orang lain. Dan janjiku mengubah hidup orang yang telah mengubah hidupku, yaitu
Prabu”
Seketika, Prabu
berteriak keras dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa dia sudah sejahat
itu pada Edo, sahabat sejatinya bahkan hingga akhirpun Edo masih tulus terhadap
dirinya. Lalu bagaimana cara dia harus meminta maaf pada Edo sekarang? Hanya teriakan
dan raungan tangis yang bisa dia lakukan sekarang. Tak ada yang lain.
Tamat.
Komentar
Posting Komentar