Sahabat


Ahmad Haidar Fahmi Mubarok 
(Kls 9)

Edo. Anak laki-laki berusia 8 tahun. Dia ditinggalkan ayahnya saat masih berusia 2 tahun, dan 5 tahun kemudian ibunya meninggal karena kecelakaan. Dia diasuh neneknya yang biasa Edo panggil Oma. Karena pendiam, Edo sedari kecil tidak mempunyai teman. Anak seperti dirinya biasa disebut introvert. Tetapi, dia anak yang pintar dan jenius.

Pada satu minggu di pagi hari, Edo duduk di pinggir lapangan, dari jauh dia melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Tanpa dia sadar ternyata bola terlempar ke pinggir dan berhenti di samping kakinya. Anak-anak yang bermain di lapangan menunggu dirinya melempar bolanya, namun Edo yang tak terbiasa dilihat banyak orang hanya diam saja.

Karena terlalu lama, anak-anak itu mulai kesal dan marah. Lalu sekelompok anak berlri ke arah Edo dan mulai mengeroyok anak itu dengan bertubi-tubi. Edo hanya bisa berusaha melindungi kepalanya dengan tangannya.

“Woi! Kalau berani satu-satu!” teriak seorang anak dengan badan gagah dan menarik anak-anak yang mengeroyok Edo.

Anak-anak yang melihat badan gagahnya langsung pergi sambil mengambil bola mereka. Edo bangun sambil mengelus-elus badannya yang lumayan sakit semua. Anak yang menolongnya tadi membantunya untuk bangun dan duduk Kembali.

Agak lama, Edo hanya terdiam bahkan tidak memandang anak yang sudah menyelamatkannya tadi. Anak itupun berinisiatif lebih dulu menegur dan menyodorkan sebuah ketapel pada Edo.

“Aku Prabu. Kalo ada yang ganggu, langsung ketapel saja!” katanya bersemangat sambil menyodorkan sebuah ketapel dari kayu jambu klutuk, dengan 3 lapis karet pentil dan bantalan kulit.

Edo yang dari kecil susah berbicara hanya mengangguk lalu menerimanya. Menggenggamnya erat sambil menunduk.

Kebetulan, saat itu Oma Edo melewati lapangan itu dan dari kejauhan dia melihat Edo nampaknya sedang berinteraksi dengan anak sebayanya. Dirinya merasa sangat Bahagia sebab melihat cucunya itu akhirnya mempunyai teman.

………………

Hari selanjutnya, yang biasanya Edo selalu pulang sekolah sendirian kali ini dia berjalan bersama dengan Prabu, anak yang menolongnya kemarin. Meskipun tidak mendapat respon, namun dengan sifatnya yang periang dan suka menolong Prabu memilih untuk menemani Edo, khawatir jika anak-anak yang kemarin akan mengganggunya.

Di pertengahan jalan, tiba-tiba hujan turun cukup lebat. Prabu mengajak Edo untuk berteduh di halte, namun Edo malah menarik tangan Prabu dan mengajaknya berlari hujan-hujanan. Keduanya Nampak bersenang-senang denga napa yang mereka lakukan.

“Nanti kalo udah gede jangan pisah ya” kata Prabu tiba-tiba.

“I-Iya” jawab Edo.

……………………………

10 tahun kemudian.

Bocah remaja melompat tinggi memasukkan bola basket yang ia bawa. Dengan badan gagah dan sedikit keringan yang memencar dari sela rambut wajahnya, remaja itu sangat pantas menjadi idola. Dia tak lain adalah Prabu. Sorak sorai penonton begitu semarak emmberikan semangat pada Prabu yang menjadi pemain andalan dalam pertandingan tersebut.

Edo masih mengerjakan ujiannya di bangku kuliyahnya. Karena remaja itu sangat pintar, dengan cepat dia menyelesaikan ujiannya agar segera bisa melihat Prabu bermain. Dengan tergesa Edo berlari menuju lapangan basket untuk menyaksikan sahabatnya yang sedang bertanding. Meski menonton, namun nyatanya dia hanya berdiri melihat tanpa menunjukkan ekspresi ataupun mengeluarkan suara sama sekali.

Seperti yang semua orang tebak. Tim Prabu menang telak dan tentu saja Prabu yang menjadi pencetak poin terbanyak dalam pertandingan itu. Prabu langsung berlari ke pinggir lapangan dan menyapa Edo yang tentu saja terlihat sangat mencolok  di antara penonton lainnya. Keduanya keluar dan pulang beriringan lalu berpisah menuju rumah masing-masing.

Saat Edo berlalu dan Prabu memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba Prabo dihadang ibunya dengan wajah marah,

“Ibu kan sudah bilang! Jangan main sama anak kurang waras itu! Kamu ini …”

Belum selesai bicara, Prabu langsung memotongnya,

“Aku sudah gede, bu. Sudah bisa membedakan teman yang baik dan jelek. Lagian Edo Cuma susah ngomong, bukan gak waras!” ucapnya dengan nada agak tinggi.

Selesai berbicara demikian, Prabu pun langsung meninggalkan ibunya dan berjalan menuju kamarnya.

………………………

Malamnya, tanpa sepengetahun Prabu, ibunya pergi ke rumah Edo. Sesampainya di sana, ibu Prabu langsung menggebrak pintu rumah,

“Mana orang tua anak gak waras itu?!” teriak ibu Prabu dengan keras.

Pintu terbuka pelan dan kepala Edo menyembul separo dari dalam,

“o-orang tu-tuaku su-sudah gak a-ada, bu” ucap Edo dengan kalimat yang terbata-bata.

“Eh, kamuy a yang Namanya Edo! Kamu jangan memanfaatkan anak saya ya!” bentak ibu Prabu dengan suara lebih tinggi lagi “kamu berteman Cuma agar dijagain Prabu, kan?!!”

“Eng-enggak, bu” jawab Edo.

Ibu Prabu meraih tangan Edo yang masih memegangi pintu dan menariknya dengan kencang. Reflek, Edo mendorong ibu Prabu hingga terjatuh. Dan dari kejauhan ternyata Prabu melihat kejadian itu. Namun karena Prabu tidak tahu bagaimana awal kejadiannya dari awal, ia pun marah dan kecewa denga napa yang sudah dilakukan Edo pada ibunya.

Prabu mendekat dan membopong ibunya untuk bangun,

“Kita gak usah berteman!” ucap Prabu dengan matanya yang tajam.

Edo terdiam saja, hanya berdiri dan melihat Prabu pergi dengan ibunya. Dalam hati remaja itu dia menyesali perbuatannya meski itu bukan kesalahannya.

…………………….

Keesokan harinya.

Prabu mempunyai jadwal pertandingan basket melawan tim yang lain. Dia langsung menuju ke lapangan tanpa mencari Edo seperti sebelumnya. Permainan dimulai dan seperti biasa, Prabu mendominasi bola dan berkali-kali mencetak poin. Penonton berjubel dan bersorak untuk Prabu.

Pertandingan baru berlangsung satu babak, namun di Tengah pertandingan saat mendribel bola menuju ring lawan, tiba-tiba Prabu merasa pusing. Bolanya terlepas dari tangannya. Dan tak lama kemudian tubuhnya terjatuh dan dia sudah tidak sadarkan diri.

Prabu langsung dilarikan ke rumah sakit.

“Dengan keluarga pasien?” tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD, dengan stetoskop yang baru saja dilepasnya.

“Saya, dok”

Ibu Prabu bangkit dari duduknya dan menghadap dokter dengan wajah cemas.

“Mohon maaf, apakah anak ibu mempunyai Riwayat gagal ginjal?”

Ibu Prabu tersentak, dan dengan wajah ketakutan dia menjawab dengan suara bergetar,

“A-Ayahnya, dok”

“Anak ibu membutuhkan donor ginjal”

………………………….

 Kabar Prabu yang ambruk di Tengah pertandingan dan dilarikan ke rumah sakit dengan cepat menyebar ke seluruh lingkungan kampus. Termasuk kabar tentang penyakit yang dideritanya.

Edo yang mendengar kabar sahabat dari kecilnya itupun sangat bersedih. Dia pulang dan langsung bersimpuh di pelukan Oma-nya. Oma yang memahami kesedihan cucunya itu berusaha menenangkan. Dengan suara yang terbata-bata, Edo berusaha menyampaikan apa yang dia rasakan kepada Omanya, satu-satunya orang yang selama ini selalu bisa memahami dirinya. Oma menasehatinya untuk tenang dan mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya.

Tengah malam, Edo terbangun dari tidurnya. Dia merenungs ebentar kemudian engambil pena dan secarik kertas, lalu menulis surat untuk Prabu. Berharap dengan tulisannya itu Prabu bisa memahami dengan bai kapa yang ingin dia sampaikan.

Keesokan harinya, dengan menggenggam surat yang dia tulis tadi malam dia pamit untuk pergi menjenguk Prabu di rumah sakit. Dia sudah memantapkan hatinya untuk memperbaiki hubungannya dengan Prabu, satu-satunya sahabt yang dia miliki. Dengan senyum kecil dia bergegas berlari menuju rumah sakit yang lokasinya kebetulan tidak terlalu jauh dari komplek rumahnya.

Saat menyeberang jalan, tanpa ia sadari truk dari arah selatan melaju dengan sangat kencang dan tak terkendali. Suara ban terseret menderit dengan sangat keras. Asap dan debu mengepul daris eluruh roda truk itu. Namun sudah terlambat. Edo yang tidak sempat menghindar tertabrak dengan sangat keras hingga terseret beberapa meter sampai akhirnya laju truk berhenti.

Darah hangat merembes dari beberapa bagian tubuh Edo. Tubuh remaja itu meringkuk di Tengah aspal jalan, dan sebelum kesadarannya benar-benar hilang dia menatap samar genggaman tangannya,

“Prabu …”

Edo dilarikan ke rumah sakit. Para perawat dengan cepat menanganinya dan mengehntikan pendarahannya. Agak lama sampai keadaan Edo stabil, namun nampaknya luka dalamnya cukup serius.

Kebetulan, bangsal Edo bersebelahan dengan Prabu. Keduanya sama-sama masih tidak sadarkan diri. Oma dengan sabar menunggu di samping bangsal Edo dan terus menggenggam tangan cucunya itu yang rupanya masih menggenggam erat secarik kertas. Dibukanya jemari Edo dan kemudian membca isinya,

Dari bilik samping, ibu Prabu sekilas melihat Edo dibawa masuk oleh perawat tadi. Dia menengoknya dan melihat keadaan anak itu sedang kritis. Entah bagaimana, muncul ide di benaknya untuk memanfaatkan anak itu demi menyelematkan anaknya sendiri.

Ibu Edo mendekat dan masuk ke bilik Edo. Dia berdiri di samping Oma dan menyapanya. Dan dengan tanpa basa-basi, dia meminta agar ginjal Edo didonorkan ke Prabu, anaknya.

Oma menatapnya dengan nanar,

“Sebelum kamu meminta, cucu saya sudah memberikan” ucap Oma dengan suara bergetar.

Ibu Prabu terhentak. Pupil matanya membesar seolah tidak percaya denga napa yang barusan dia dengar. Oma menyodorkan secarik kertas yang sudah tercoret bercak darah. Surat yang dibawa Edo. Diterimanya dan dibacanya dengan diam. Matanya mbrabak dan terasa tertampar hebat. Ibu Prabu tidak tahu bagaimana cara meminta maaf pada Edo atas semua perilakunya. Edo yang dicaci makinya sekarang malah mengorbankan nyawanya demi anaknya.

…………………………

Pasca pemulihan dari operasi, Prabu akhirnya membuka matanya. Setelah beberapa hari dokter membolehkan Prabu pulang. Saat di gerbang, suster memanggil ibu Prabu,

“Bu, ini barangnya ketinggalan…”

“Barang?”

“Titipan dari keluarga pendonor…”

Ibu Prabu menerimanya dan bergegas menyusul Prabu yang sudah naik kedalam mobil.

Di rumah, Prabu duduk di sofa ruang tamu sendirian, dan ia melihat tas kertas kecil yang tadi diletakkan ibunya di sampingnya. Isinya apa? Mungkin hanya makanan ringan dari ibunya. Diraihnya remote tv dan menyalakannya. Kebetulan saluran Pendidikan dan nampaknya ada pengumuman mahasiswa terbaik nasional.

Sembari menunggu MC mengumumkan nama juara, iseng Prabu membuka tas kertas tadi. Dilihatnya, ternyata isinya malah sebuah ketapel dan secarik kertas. Dia mengenali betul, itu ketapel yang dulu dia berikan kepada Edo saat pertama kali bertemu. Lalu kertasnya, ada bercak darah.

Suara dari tv,

“Peraih mahasiswa terbaik nasional, Edo dari kampus MMI!”

Prabu seketika mennegok ke arah tv. Sahabatnya menjadi mahasiswa terbaik! Akhirnya cita-cita anak itu terwujud,

“Namun …” MC yang lain menyahut dengan suara terpotong “Mahasiswa atas nama Edo tidak bisa hadir bersama kita hari ini, sebab beberapa hari lalu dia meninggal dunia…”

Prabu terhentak. Badannya kaku demi mendengar kalimat terakhir orang di tv itu,

“Iya, dan yang luar biasa darinya, sebelum kematiannya dia sempat mendonorkan ginjalnya untuk keselamatan pasien lain. Sungguh pemuda dengan hati yang sangat mulia..”

Sekali lagi Prabu terhentak, bahkan lebih keras lagi. Cepat-cepat dibukanya kertas dengan bercak darah tadi. Membacanya perbaris dengan mata sembab dan tangan bergetar hebat.

“I give you my heart. Kata ibuku, sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dan janjiku mengubah hidup orang yang telah mengubah hidupku, yaitu Prabu”

Seketika, Prabu berteriak keras dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa dia sudah sejahat itu pada Edo, sahabat sejatinya bahkan hingga akhirpun Edo masih tulus terhadap dirinya. Lalu bagaimana cara dia harus meminta maaf pada Edo sekarang? Hanya teriakan dan raungan tangis yang bisa dia lakukan sekarang. Tak ada yang lain.

Tamat.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilihan OSIS Baru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Upacara Hari Pahlawan 2024

Semangat Kebersamaan Warnai Upacara Hari Guru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro