Bait Puisi untuk Ibu
Lyra Hafizatus Zianida (Kls 9)
Selena.
Begitulah mereka memanggil gadis kecil berambut keriting penjual gorengan di
sekolah. Keluarganya tidak mampu membayar sekolah karena ayahnya sakit keras
dan ibunya hanya penjual gorengan di depan sekolah.
“Ibu, kapan aku
sekolah?”
Itulah
pertanyaan yang selalu dilontarkan gadis itu kepada ibunya. Sedang ibunya
hanya, selalu, bisa tersenyum dan menjawab;
“Besok kalau
sudah punya uang ya, Sel”
Dan Selena,
selalu, dengan patuh mengangguk.
Hari demi hari
dilewatinya dengan berjualan gorengan bersama sang ibu, hingga suatu hari ia
mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk bersekolah secra gratis. Dia sangat
Bahagia dengan hal ini, sebab akhirnya dia bisa benar-benar bersekolah seperti
anak-anak seusianya yang lain. Dengan riang gembira dia berangkat sekolah dan
menikmati setiap harinya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa
bulan kemudian ayahnya meninggal sebab komplikasi penyakit. Dan ibunya selama
beberapa hari tidak berjualan dan tidak pula memiliki nafsu makan lagi. Hal itu
membuat ibunya sakit-sakitan. Namun, beliau berusaha selalu Nampak tegar saat
di depan Selena, anak gadis satu-satunya.
“Ibu! Ibu!”
Dengan penuh
semangat, Selena berlari dan memeluk ibunya yang sedang duduk di dipan depan
rumah.
“Eh eh ada apa,
Sel??” tanya ibunya tidak faham.
“He he he. Bu,
aku lulus seleksi lomba puisi di Bandung. Minggu depan aku sama bu guru mau ke
Bandung!” cerita Selena dengan senyum lebarnya.
Ibunya
tersenyum meski wajahnya Nampak pucat sekali. Nampak jelas ada raut bangga dari
wajahnya itu. Dipeluknya anaknya itu kuat-kuat. Matanya membasah dan diam-diam
tanpa disadari anaknya beliau meneteskan air mata. Sedang di sisi lain Selena
masih senyam-senyum bangga dengan dirinya sendiri.
Hari
keberangkatan. Selena duduk di depan cermin usah yang sudah banyak bagian yang
mbulak tidak jelas pantulannya. Di belakangnya ibunya dengan telaten menyisiri
rambut keritingnya dan menatanya dengan rapi.
“Sel, menang
dan kala adalah hal yang biasa di pertandingan” pesan ibunya “entah kamu menang
ataupun kalah, ibu aka tetap bangga padamu”
Selena membalik
badannya dan menghadap tepat di depan ibunya.
Selena janji
akan bawain ibu piala besar nanti!” ucapnya sambil mengangkat jari
kelingkingnya.
Ibunya
tersenyum,menggenggam jemari kecil anaknya dan lalu mengelus rambut keriting
anaknya itu yang sudah tersisir lumayan rapi.
“Oh iya, ibu
ingin mendengar puisi kamu” pinta ibunya.
Dengan
semangat, Selena berdiri dan memegangi sisir sebagai mic-nya;
Ibuku
Karya: Putri Ayu Selena
Wanita yang rela selalu
bersusah, demi diriku, dialah ibuku
Wanita yang rela bekerja
keras, demi diriku, dialah ibuku
Wanita yang selalu sabar atas
segala tingkahku, dialah ibuku
Yang sabar menyisir
rambutk, kala kusut
Yang sabar dengan tingkahku,
kala nakal
Yang sabar menyemangatiku,
kala putus asa
Yang tak cukup kata terima
kasih
Yang tak cukup ucapan maaf
Yang tak cukup suatu apapun
untuk membalasnya
Dialah ibuku
“Yeey” ibunya
bertepuk tangan bangga melihat putrinya, sembari sesekali mengusap air matanya
yang hendak turun.
“Lho bu?? Kok
nangis?” Selena mendekat khawatir.
“Enggak, ibu
gak nangis kok. Ibu bangga denganmu, nak” ujar ibunya.
Setelah
berpamitan dengan ibunya, Selena dengan diantar gurunya berangkat menuju
stasiun untuk pergi ke Bandung.
………………..
“Juara 3 …
diraih oleh … Naura Salsabila!”
Satu anak maju
kedepan. Selena diam menunggu pengumuman selanjutnya, berharap Namanya nanti
dipanggil.
“Juara 2 …
diraih oleh … Hanna Afrida Rohani!”
Satu anak lagi
maju ke depan. Ekspresi wajah Selena menegang. Menebak-nebak apa masih mungkin
akan menang?.
MC berhenti lumayan
lama, hingga akhirnya melanjutkan,
“Juara 1 …
adalah … Putri Ayu Selena! Dengan puisi berjudul ‘Ibuku’!”
Selena meloncat
kegirangan. Dia segera berlari ke panggung dan berdiri berjejer dengan para
pemenang lainnya.
“Ibu, aku sudah
nepatin janjiku!” batin Selena.
………………….
Setelah pulang
dari bandung, turun di jalan besar dan masuk ke gang rumahnya, Selena berjalan
dengan senyum sumringahnya sambil menenteng piala besar.
“Ibu! Aku
menang!” teriak Selena Bahagia saat sudah hamper sampai depan rumah.
“BRAKK!”
Piala besar
Selena terjatuh begitu saja. Tubuhnya kaku. Mata gadis itu nanar menatap
rumahnya. Dia kebingungan bercampur ketakutan, mengapa di rumahnya ada banyak
orang. Bahkan dia bisa mendengar ada yang sedang membaca tahlil dari dalam. Ada
bendera kuning di pintu rumahnya.
Selena tak
beranjak sama sekali dari posisinya berdiri. Orang-orang melihatnya dan
beberapa berjalan mendekat. Budenya memeluknya dengan erat. Ada banyak suara
tangis yang pecah setelahnya.
“Bude … mengapa
… di rumah Sel … ada banyak orang?” tanya Selena dengan suara bergetar dan
mulai sesenggukan.
Budenya hanya
menagis sambil masih memeluk erat badan Selena. Lalu pelan-pelan Selena diajak
masuk rumah dan diajak bersimpuh di Tengah mbale. Ada tubuh kaku yang sudah
tertutup kain dan jarit. Selena menatap lekat wajah yang tertutup selembar
kain.
Tanpa
membukanya, dia sudah tahu itu ibunya. Namun suaranya tertahan. Ingin sekali
tangannya menggapai namun semua ototnya lemas. Dan tangisnya sudah tak
terbendung lagi. Dengan sekeras-kerasnya dia meledakkan tangisnya. Seluruh
ruangan pun tak kuasa menahan tangis mereka demi melihat pemandangan yang
begitu menyedihkan itu.
Pelan-pelan
Selena menyeret tangannya untuk menyentuh tubuh ibunya. Menggoyang-goyangkannya,
berharap ibunya segera bangun,
“Bu … bangun …
lihat … Sel bawa piala …” celingukan Selena mencari pialanya, namun dia
meninggalkannya di depan rumah,
“bu … bangun …
udah sore … kata ibu gak boleh tidur sore …” rengeknya sambil terus mendekatkan
badannya, lalu memeluk erat dan menyandarkan wajahnya ke dada ibunya, “bu,
nanti yang nemenin Sel siapa …”
Ternyata
pamitan tadi pagi adalah pamitan untuk terakhir kalinya. Sedang keluarga sama
sekali tidak bisa menghubungi guru Selena untuk mengabari. Semua yang hadir
juga ikut menangis melihat gadis kecil yang sekarang sebatang kara itu.
Sekian.
Komentar
Posting Komentar