Kamu
Karya:
A. Izza Ichya Ulumuddin
Teng teng teng teng teng teng!Suara kenteng yang panjang dan berisik. Aku yang sedari tadi bersujud syukur (tertidur dengan posisi duduk njungkel) mulai awal yasin fadhilahan sampai usai, pun terpaksa terbangun kan.
Melihat ke kanan kiri sambil tangan menggaruki tengkuk. Kedua kaki kuselonjorkan karena kesumutan akibat terlalu lama sujud syukur.
Nyawa yang belum sepenuhnya terisi ulang kupaksakan untuk kupakai berpikir, kenteng apa yang tadi itu?? 1 menit kemudian barulah saya nge’h kalau sekarang hari Jumat, dan itu tadi kenteng ro’an.
“Duk duk ! Roan roan!” Tuh kan benar. Ubrakan roan. Dan itu adalah suara pengurus yang sangat ku kenali. Pak Wibby, tetangga rumahku yang hanya berjarak 5 rumah.
Dengan rasa malas yang masih kuat ngganduli seluruh badan, aku berusaha tetap berdiri dengan kaki yang masih sedikit kesumutan.
Dengan agak pincang aku berjalan ke papan pengumuman, mencari-cari kertas informasi yang baru ditempelkan pengurus kebersihan tadi malam. Setelah ketemu, kucari bagian kamarku C3, mendapat bagian halaman pondok. Mulai depan ndalem bunyai yang paling selatan sampai gerbang pondok utara.
Membaca pembagian tugas roan ini memperparah rasa malasku karena terlalu luasnya tempat yang harus disapu. Tiba-tiba aku teringat kata bijak yang selama ini terasa selalu relate dengan pikiranku; “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian”. Artinya, jika aku segera menyelesaikan bagianku maka aku bisa segera menyambung tidurku.
Kaki yang dari tadi diam secara tiba-tiba bergerak menuju tempat kotak sapu halaman. Mengambil satu sapu kecil, warnanya berubah gelap karena terlalu sering dipakai.
Secepat kilat, jauh lebih cepat dari biasanya. Baru 5 menit saja halaman depan ndalem sudah tersapu seluruhnya.
“Huh. Akhire wis bar. Tinggal bagian halaman pondok dan gerbang depan” gumamku pelan. Aku beranjak ke halaman pondok, lalu berhenti sebentar untuk mengusap keringat. Melihat teman-teman sekamar yang hanya duduk bermalasan sambil melihat teman yang lain bersih-bersih, tidak ku hiraukan. Ku lanjutkan menyapuku.
Hanya butuh 3 menit untuk menyelesaikan halaman pondok. Aku beralih jalan ke gerbang depan.
“Kang Yusuf. Sik kang. Tolong ini bawakan” suara pengurus memanggil, sangat familiar. Pak Aldi, pengurus keamanan yang istiqomah rutin menghukumku. Pak Aldi menyodorkan bak sampah warna hijau yang bertulis ‘bak sampah milik kantor’ dengan tutup hitam.
“Nggeh, pak”
Aku menerima bak sampah tersebut meski agak jengkel. Maklum, musuh alami. Ku bawa ke tempat sampah di belakang ndalem. Setelah sampai, kubuka dan menuangkan semua isinya. Mataku memperhatikan sampah-sampah yang keluar, ada banyak sekali bungkus rokok yang berjatuhan.
“Penak dadi pengurus, wis dibolehkan merokok. Yah kalau mau bebas rokok memang kudu khatam Al Qur’an to namatne diniyah seh”.
Selain bungkus rokok, ada plastic sisa bungkus gorengan, juga beberapa foto santri, putra dan putri juga. Aku tertarik pada salah satu foto. Kupungut. Foto seorang santri putri dengan background merah. Mengenakan kerudung warna putih beserta gamis berwarna biru khas seragam pondok. Manik matanya yang hitam dengan dihiasi bulu mata yang lentik menatap tajam ke kamera. Gadis ini hanya berias tipis dengan bibir mungil yang menyunggingkan senyum. Foto santriyat ini betul-betul membuatku cukup terpaku dengan kecantikan khasnya.
“Hayo! Ngelamun opo, Suf!” tegur Ibrahim, sahabatku yang sudah 5 tahun mondok bersama, sambil tangan kanannya menepuk pundakku dengan kasar “Di tempat kotor begini kok ngelamun. Kesambet kapok!”
Aku yang jengkel sebab terkejut langsung menepis tangannya dengan kasar pula. “Bukan urusanmu. Ini urusan cah gede!”
Sejurus kemudian, aku segera ngeloyor pergi meninggalkannya. Foto yang kupungut tadi kumasukkan ke dalam sela-sela peci. Mengembalikan bak sampah ke kantor dan menyelesaikan tugas menyapu. Kemudian mengembalikan alat sapu ke tempat semula. Tak lupa mencuci tangan dan kaki. Seperti rencana awalku tadi, selesai roan aku akan menyambung tidurku.
Cepat-cepat aku menuju ke kamar, di lantai dua, meniti puluhan anak tangga yang cukup membuatku semakin letih. Saat sampai, kuletakkan peci di atas lemari kecil, mengambil bantal yang terbuat dari buntalan baju-baju yang sudah tidak terpakai dan segera merebahkan badan di atas lantai. Mataku segera kupejamkan.
10 menit berlalu dan ternyata aku masih belum bisa tidur. Pikiranku masih bergerak liar memikirkan foto santri putri yang kutemukan waktu roan tadi. Dengan segera aku mengambil foto tersebut dari sela-sela peci dan juga mengambil selembar foto lagi yang sudah lusuh sebab selalu kubawa kemana-mana.
Dalam foto lusuh itu ada 2 anak balita laki-laki dan perempuan berusia yang sedang tengkurap menghadap ke depan. Bayi laki-laki mengenakan baju lengan pendek warna biru dan celana dengan warna senada. Serta mengenakan topi hitam dengan tulisan ‘boys’. Sedang bayi perempuannya mengenakan baju lengan panjang couple warna biru, rok warna senada dan mengenakan mahkota ala putri raja.
Aku menyandingkan 2 foto tersebut dan memandanginya agak lama.
“Loh? Kok wajahe mirip adek??” sadarku kemudian. Namun aku segera menepis pikiran tersebut. Adekku sudah tenang di alam sana, ngapain kusangkut pautkan. Mungkin ini hanya halusinasiku karena sangat rindu dengan adek. Ah. Memikirkan adek membuatku teringat kejadian tragis yang dialami kedua orang tuaku dan adekku.
……………………
Pukul 11.15 WIB aku dingangunkan Ibrahim, menyuruhku untuk mandi dan bersiap-siap, karena sebentar lagi adzan Jumat akan berkumandang. Aku menurutinya, mandi dan bersiap. Setelah selesai, tak lupa aku bawa foto si santri putri dengan tujuan akan menanyakannya pada temanku.
Kutanyakan pada Ibrahim, namun dia tidak kenal. Menanyai semua teman santi yang lain yang kutemui saat perjalanan ke masjid, tapi jawaban yang kudapat sama saja. Semua tidak kenal dengan santri putri di foto ini. Namun aku tidak menyerah. Pulang sholat Jumat, aku menghadap ke pak Wibby dan memberanikan diri untuk bertanya.
“Iya saya tahu”
“Betul pak? Sinten niki?” tanyaku bersemangat.
“Aku tidak mau memberi tahu, kecuali jika kamu mau menuruti syarat yang kuberikan” jawab pak Wibby.
Syaratnya ialah aku harus istiqomah mengikuti ngaji Ihya Ulumuddin setiap pagi selama 30 hari. Maknanya harus full dan aku sendiri harus bisa membacanya.
“Siap pak!” jawabku tegas dan kamipun bersepakat. Di banding rasa penasaranku, syarat ini kurasakan tidak berat sama sekali. Paling tidak itu yang kupikirkan saat ini.
Hal pertama yang kulakukan ialah membeli kitab Ihya Ulumuddin. Namun, ternyata 10 hari pertama aku sangat kesulitan, karena kegiatan yang biasa kulakukan setelah setoran Al Qur’an ke bunyai adalah tidur. 10 hari kedua baru terasa lebih mudah sebab sudah mulai terbiasa. Sedangkan sisa 10 hari terakhir terasa mudah sekali. Dan 30 haripun berlalu. Siang ini pak Wibby menyuruhku untuk menyetorkan makna kitabku..
“Wis 30 hari. Sekarang waktunya kamu menyetorkan maknanya”
“Nggeh, pak” jawabku santai karena aku sudah lebih dari siap. Dan akupun membacakan maknaku mulai bakda dhuhur sampai menjelang maghrib. Pak Wibby dengan sabar menyimakku. Selesai membaca, aku mendongak dan kulihat pak Wibby mengangguk-angguk.
“Selamat, kang Yusuf. Awakmu wis berhasil menyelesaikan syarat yang kuberikan. Dan sesuai kesepakatan, sakki wayahe aku ngandani sopo cah wedok kuwi…”
Aku mendengarkan setiap kata yang diucapkan pak Wibby dengan keringat dingin, sebab sebentar lagi penasaranku akan terjawab juga.
“Namanya Aisyah, dan saat ini dia mukim di ndalem lor” terang pak WIbby “Ada yang mau kau tanyakan lagi?” tanyanya bersemangat.
“Sampun pak. Itu saja sudah cukup” jawabku sopan.
Dengan bermodal mengetahui namanya, akupun nekat sowan ke ndalem lor dan matur ke bunyai untuk meminta izin menjadi khadam. Bunyai mengutusku untuk membantu memasak kos di dapur sekalian menurusi pembayaran kos santri putra. Jika sudah ngadam di ndalem lor, pastinya bisa bertemu dengan Aisyah. Pikirku.
Sudah 2 hari menjadi khadam, namun aku tidak sekalipun bertemu dengan Aisyah. Barulah saat hari ke 10 aku melihat gadis itu. Aku menemukannya sedang duduk sendiri di kursi kayu putih di halaman ndalem sembari melihat sesuatu di tangannya. Setelah mematung agak lama, kuputuskan untuk mencoba menyapa. Namun saat aku menghampirinya dengan cepat dia pergi masuk ndalem. Akupun tidak tidak sempat tahu apa yang sedang dilihatnya tadi sebab dia memasukkannya kedalam saku bajunya sambil berjalan menjauh.
Dan kejadian di atas terjadi berulang kali. Aku terus berusaha menyapa namun dia selalu menghindar. Di tempat yang sama, di kursi putih depan ndalem bunyai. Sampai akhirnya aku lelah dan hampir menyerah untuk mengajaknya berkenalan.
Satu siang, aku mendapat kabar jika aku ditimbali bunyai. Dengan segera aku berjalan menuju ndalem dan menghadap bunyai di ndalem.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” jawab bunyai sembari melangkah keluar kamar “Oh, Yusuf. Kesini, Suf” Bunyai duduk di kursi sofa. Aku mendekat pelan dan berhenti sekedar sepantasnya mengambil jarak dengan beliau.
“Sampean seneng to karo Aisyah?”
Deg! Pertanyaan bunyai sangat blak-blakan dan membuatku bingung untuk menjawabnya.
“Tak perhatikan, dari kemarin-kemarin kok sampean ngawasi Aisyah terus…”
Aku terdiam malu sebab kelakuanku ternyata tertangkap basah oleh bunyai.
“Aisyah itu punya trauma sebab suatu kejadian yang dulu pernah dialaminya. Sebab itu, dia selalu menghindar setiap kali didekati orang yang belum dikenalinya. Nek memang sampean berniat ingin mengenalnya, maka sampean kudu iso ngiwangi Aisyah menyembuhkan traumanya itu dulu” cerita bunyai.
Sore harinya, seperti biasa aku menemukan Aisyah duduk sendirian di kursi depan ndalem, juga masih dengan melihat sesuatu, yang entah apa, di tangannya. Jika mengingat cerita bunyai, maka aku tidak boleh langsung menghampiri Aisyah begitu saja.
Pelan-pelan kuambil langkah memutar, namun saat Aisyah menyadari ada aku yang sedang mendekat segera dia bangkit dari duduknya.
“Tunggu! Jangan pergi dulu!” cegahku “Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin berkenalan saja”
Gadis itu hanya berhenti melangkah saja, tidak mau menoleh padaku. Namun tidak lama, tanpa sepatah katapun, dia kemudian berjalan cepat masuk ke ndalem. Dan sekali lagi aku gagal berkenalan. Namun kali ini berbeda. Ada sedikit kemajuan yang kuperoleh, paling tidak dia sudah meresponku.
……………………….
Satu waktu, saat aku asyik ngobrol dengan teman sekamar, aku mendapat kabar jika bunyai memanggilku ke ndalem. Maka segeralah aku bergegas berjalan ke ndalem, melewati garasi dan dapur, sembari menghitung uang kos yang sudah terkumpul.
“Brakk”
“Aduh…”
Aku menabrak orang. Uangku terlepas dan jatuh berserakan.
“Maaf, mbak maaf” ucapku cepat sembari melihat mbak santri yang kutabrak tadi. Namun, siapa sangka mbak santri itu ternyata Aisyah, santri putri yang selama ini kukejar-kejar. Gadis itu cepat-cepat berusaha berdiri. Sedangkan aku masih sibuk memunguti lembaran uang kos yang harus kusetorkan kebunyai.
Di sela-sela uang yang berserak, aku melihat ada sebuah foto yang tertumpuk, seingatku tadi yang kugenggam hanya uang saja. Segera kujulurkan tangan untuk memungutnya sekalian, namun dari belakang tangan Aisyah mendahuluiku mengambil foto itu. Aku segera menoleh. Aisyah sedang memegangi erat foto tadi, menunduk dalam dan Nampak sangat ketakutan.
“Sampean kenapa, mbak??” tanyaku khawatir dengan masih posisi jongkok.
“Mbo… mboten” jawabnya pelan dan tidak jelas, lalu setengah berlali dia berlalu ke ndalem tengah tembus ke depan.
Aku terheran dibuatnya. Hmm? Ada apa dengannya? Apa iya aku membuatnya ketakutan sampai seperti itu?? Tapi, foto tadi… apa itu ya yang selama ini selalu dilihatnya di kursi depan? Batinku menerka-nerka.
“Ah! Aku sedang ditunggu bunyai!” sadarku panik. Segera kupungut dan kutata uang kos dan segera beranjak menghadap ke bunyai.
“Jadi totalnya ada 4 juta ya, kang?”
“Nggeh, bu”
Bunyai kembali menghitung lembaran uang pembayaran kos yang sudah beliau terima. Kemudian memasukkannya ke dalam dompet besar yang beliau pangku.
“Kang, itu apa yang ada di sakumu?” Tanya bunyai sembari menunjuk sakuku.
Aku menunduk untuk melihatnya, dan kuambil foto yang bunyai maksudkan. Foto lusuh yang selalu kubawa kemanapun. kuserahkan ke beliau lalu kembali duduk di tempat semula.
“Niki foto kenangan alit kulo kaleh adek, engkang sampun kapundut, bu”
“Sudah meninggal, kang?” Bunyai memandangi foto yang sudah beliau bawa.
Aku terdiam sejenak, mengambil nafas dalam-dalam.
“Enggih”
…………………..
Saat masih kecil, aku dan adekku terpaksa berpisah diarenakan adanya adat turun temurun dari leluhur kami, bahwa jika ada bayi kembar laki-laki dan perempuan maka bayi tertua akan dipisahkan. Aku tidak tahu apa alasannya,
Maka jadilah aku diasuh pamanku sedang adek bersama orang tua. Dan kami hanya bertemu 1 tahun sekali saja saat hari raya Idul Fitri. Kecuali saat ulang tahun ke 8. Tepat di hari itu kedua orang tuaku memberikan surprise dengan mendatangi rumah paman tanpa mengkabari dulu. Menurutku, itulah hari ulang tahun terbaik yang kudapatkan. Ada banyak sekali hal yang luar biasa menyenangkan yang kami lakukan bersama.
Tanpa terasa sudah jam 8 malam. Mereka harus pamit. Sebenarnya paman menawarkan untuk menginap saja, tapi bapak menolak sebab besok pagi ada urusan pekerjaan yang sangat penting.
Sebelum pulang, bapak memelukku, pelukan yang biasanya hanya kudapatkan setahun sekali saat Idul Fitri.
Selang beberapa hari, aku mendapat kabar yang sama sekali tidak akan pernah kuduga. Kabar yang seharusnya sudah diberitahukan padaku beberapa hari sebelumnya namun sengaja dirahasiakan oleh paman.
Kedua orang tuaku serta adekku mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang malam itu. Katanya, bapak yang menjadi supir diduga mengantuk. Mobil tak terkendali dan oleng ke kanan melewati jalur. Dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi sebuah truk es krim menghantam mobilnya dengan hebat. Bapak yang kaget tanpa sengaja menginjak gas dan mobilpun menerobos pagar jalan dan meleuncur ke dalam sungai.
Mobil terbawa arus dan ditemukan 15 km dari tempat kejadian. Kedua orang tuaku ditemukan meninggal di dalam mobil. Sedangkan adekku tidak ditemukan. Pihak kepolisian menduga adekku terpental melalui jendela saat mobil akan masuk ke sungai dan terseret arus terlebih dahulu. Namun jasadnya tidak ditemukan hingga sekarang.
Saat beranjak kembali ke pondok, di garasi mobil, Aisyah mematung sembari memandangiku dengan raut wajah penuh tanda Tanya. Akupun dibuat tertegun beberapa saat, lalu mendekat kearahnya.
“Aisyah, ada apa?”
Gadis itu tidak menjawab, suasana malah jadi hening, sampai dia mengambil selembar foto dari sakunya dan menyerahkannya padaku.
Kuterima saja.
Sebentar kulihat dia sedang menunggu reaksiku. Beralih melihat isi foto, 2 anak balita berbaju biru. Eh? Sama dengan foto milikku? Segera kukeluarkan foto milikku dan kusandingkan. Benar sama!
“Ka .. Mu? Kamu Putri Maryam An Naqib???”
Aku gemetar. Mana mungkin juga dia Putri, adikku yang hanyut dan hilang malam itu, belasan tahun yang lalu. Apa sih yang sedang kupikirkan! Mustahil! Tapi bagaimana Aisyah punya foto ini?
Dia malah diam saja. Sebentar kemudian kedua bola matanya memerah dan mulai menangis. Dia mengangguk satu kali, lalu sesenggukan.
Meski masih sulit untuk percaya, tapi firasatku mengatakan bahwa dia memang Putri. Aku mendekat.
“Aku Putra Yusuf An Naqib, dan kau adikku, Putri Maryam An Naqib?”
Dia mengangguk berkali-kali. Segera kuraih dan kupeluk erat. Kami menangis. Diapun menerima dan balas memeluk.
Aku dengar, beberapa khadam berlari mendekat, juga beberapa santri yang kebetulan mendengar ada suara tangisan. Tapi saya tidak memperdulikan mereka.
“Heh! Kang mbak! Kok wis wanimen rangkulan!”
Suara bunyai dari belakang. Kami segera saling menjauh. Bunyai sudah ada di depan kami, menunggu penjelasan dari kami berdua. Kusodorkan foto milik kami kepada beliau.
Beliau menerimanya dan menyandingkan 2 foto yang sama tersebut, tertegun sebentar lalu memberi isyarat padaku untuk menjelaskan.
“Pengapunten sanget. Ternyata Aisyah niki kembaran kulo, bu. Yang ku kira sudah meninggal itu...”.
Bunyai mengajak kami masuk ndalem dan membubarkan para khadam dan santri yang sedari tadi berkerumun menonton kami. Bunyai duduk di shofa, sedang kami duduk berjauhan di kanan dan kiri depan bunyai.
“Sampean kok iso selamat? Dan kenapa tidak jujur sejak awal kalau kamu saudara kembarnya yusuf? Kenapa memakai nama Aisyah, bukan nama aslimu sendiri” Tanya bunyai pada Aisyah. Gadis itu menunduk sambil meremasi jemarinya.
Pertama, Aisyah bercerita kalau saat mobil akan terjun ke sungai, ibunya berhasil membuka jendela mobil dan mengeluarkannya namun dia tetap terjatuh ke sungai dan terbawa arus. Secara ajaib dia nempes di atas tumpukan sampah dan ikut terbawa arus sampai diselamatkan seorang bapak-bapak pemancing. Karena saat itu trauma berat, dia tidak bisa bercerita tentang dirinya dan lalu bapak memancing itu memutuskan mengadopsinya.
Kedua, saat usianya 15 tahun, kakak tirinya pernah berusaha mau menyakitinya. Untunglah bapaknya sempat menyelamatkannya. Setelah itu dirinya langsung dimasukkan ke pesantren untuk melindunginya. Namun kejadian itu betul-betul membekas pada hatinya dan membuatnya sulit untuk mempercayai orang lain, terutama pada laki-laki. Di pesantren bapaknya mengganti namanya menjadi Aisyah agar kakak tirinya yang jahat itu tidak bisa menemukannya. Selain itu, setiap kali dia dipanggil Maryam ia takut teringat orang tua kandungnya lagi.
Ketiga, sewaktu Yusuf masuk ke ndalem, dia langsung mengenalinya sebagai kakak kandungnya. Sebenarnya sudah berulang kali dia berniat mengatakannya sehingga dia sering sengaja duduk di depan ndalem. Namun setiap kali Yusuf mendekat dia malah takut dan traumanya membuatnya menghindar begitu saja.
Akan tetapi, seusai kejadian tabrakan di garasi itu dia mendapat keberanian untuk bertemu dan mengatakannya pada Yusuf.
Aku meyimak cerita adikku dengan terenyuh, betapa sudah begitu banyak hal yang dia alami selama ini. Sedang aku sebagai kakaknya tidak ada di sampingnya.
Sebentar kutengok bunyai, beliau sedang menyeka wajahnya dengan tisu. Beliau menangis. Sebentar kemudian beliau nimbali Aisyah dan memeluknya erat.
“Kamu kuat, nduk. Kamu gadis yang kuat” ucap bunyai berulang kali sembari mengelus kepala Aisyah.
Aku tersenyum dan sangat bahagia. Keluargaku terasa utuh kembali. Sedang bunyai mendoakan kami dengan doa-doa baik, dan kami mengamini setiap doa beliau.
(Selesai).
).png)
Komentar
Posting Komentar