Cinta di Ujung Pesantren

Karya:

Aina Ulil Mardhiyah

 


Alisya Sherina Mufida nama gadis mungil itu. Ia bertekad menuntut ilmu di pesantren Alamtaro karena cita-citanya menjadi seorang ustadzah, sebagaimana ibu dan bapaknya yang terlebih dahulu terjun ke masyarakat untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh di pesantren dulu.

Beruntung Sherin sudah tidak asing dengan dunia santri. Akan tetapi, tetap saja jauh berbeda antara di rumah dan di pesantren. Di awal mondok dia diajari mbak-mbak dari cara memakai sarung, mengantri kamar mandi, mengantri makan juga belajar mengaji, karena cara mengaji di pesantren berbeda jauh dengan cara mengaji di tempatnya dulu.

Bukan hal mudah untuk pertama kali menjadi santri. Semua serba terikat peraturan. Apalagi Sherin anak perempuan satu-satunya yang manja. Tiap hari rasanya hanya tangisan dan kesedihan saja. Semua serba antri dan semua serba dipaksa.

Alhamdulillah Sherin mempunyai orang tua yang sangat kuat semangatnya. Mereka selalu memberi dukungan dan nasehat agar Sherin tidak mudah putus asa dan pantang mundur. Dan dengan berjalannya waktu, Sherin berhasil melewati semuanya.

Suka duka telah dilalui. Masuk pengurus MASDA (penggerak Syawir), mendapatkan hukuman dari pengurus, kehilangan sandal entah berapa kali, kehilangan baju, buku dan lain-lain, sampai kehabisan uang jajan bersamaan dengan kehabisan sabun sudah menjadi cerita duka yang terlalu biasa dalam mewarnai kehidupannya di pondok, serta banyak lagi cerita bersama begitu banyak teman dari berbagai pulau. Semuanya jika dirangkai maka barulah menjadi cerita yang indah, bak warna pelangi yang menakjubkan.

Dan belum lagi pengalaman masa depan yang kelak akan ia alami, yang sama sekali belum dan takkan terbayang di benaknya.

Ketika mencapai tahun keempat dan masuk kelas tingkat ulya, Sherin mulai merasakan adanya benih cinta yang tumbuh di hati. Itu bermula ketika di satu waktu saat Sherin dan sahabat karibnya, Naila mengikuti pegajian kitab Nashoihul Ibad yang rutin diadakan pada Sabtu siang untuk para santri dan juga orang kampung yang ikut mengaji.

Penempatan santri putra di serambi depan mushola menghadap ke utara, sedangkan santri putri menghadap ke selatan dengan satir di tengah membatasi kedua majlis. Meski demikian, masih ada sedikit celah yang membuat santri di kedua majlis terkadang masih bisa terlihat.

Pada momen itulah, Sherin melihat sosok seorang kang santri yang belum dikenalnya. Ia mengenakan baju putih motif kotak-kotak dan sarung hijau. Terlihat begitu menawan bagi gadis itu. Bahkan Naila mengatakan kalau wajah mereka terlihat begitu mirip. Tanda-tanda jodohkah? Batin Sherin berandai-andai.

“Mau tahu namanya, Rin?” ucap Naila, sembari mendekatkan mulutnya di telinga Sherin yang sedari tadi masih memandangi kang santri itu tanpa berkedip.

“Apaan sih?” Sherin terhentak “Siapa pula yang pengen tahu!” jawabnya lalu cepat-cepat beralih menutupi wajahnya yang masih memerah sebab malu tertangkap basah. Naila membiarkannya.

Setelah siang itu, ternyata Sherin masih terbayang wajah si kang santri, akan tetapi gadis mungil itu berusaha menghilangkan rasa aneh yang mulai tumbuh di hatinya. Ia terus berusaha menyibukkan pikirannya dengan mengaji dan berpuasa dalam sehari-harinya. Sherin mempunyai prinsip “Jangan sampai jatuh cinta pada orang selain suaminya nanti”, lantaran ia tidak mau merasakan sakit hati dan berbuat yang menurutnya kebablasan ketika jatuh cinta, sebagaimana beberapa temannya.

Berjalannya waktu, Sherin sudah tidak ingat lagi dengan kang santri itu, apalagi dia memang belum tahu namanya.

Namun entah jodoh atau apa, pada tahun keenam Sherin dan kang santri itu dipertemukan di ndalem kyai Rohmat, salah satu pengasuh pondok Alamtaro yang ndalemnya ada di selatan komplek pesantren.

Kala itu Sherin diajak salah satu ustadzah untuk menemaninya masak di dapur ndalem kyai Rohmat. Ketika berjalan menuju dapur yang lokasinya berada di bagian belakang ndalem, tanpa di sangka, dirinya kembali melihat kang santri yang dulu sempat membuatnya tertarik. Kang santri itu nampak duduk di ndalem tengah, yang nampaknya sedang mengajar Al Qur’an salah satu putra kyai Rohmat.

Tentu saja, rasa yang sempat berhasil dia hilangkan dulu mau tak mau menjadi muncul kembali.  Bukan itu saja, iapun menjadi tahu bahwa nama kang santri itu ialah kang Aziz, dia berkhidmah di ndalem kyai Rohmat, selain membantu pekerjaan ndalem kang Aziz juga diutus untuk mengajar Al Qur’an putra kyai Rohmat serta antar jemput sekolahnya.

Kang Aziz ternyata juga pengurus pondok, akan tetapi dia lebih focus ngadam di ndalem kyai Rohmat, sehingga wajar jika Sherin tidak mengenalnya.

Dari situ, Sherin ternyata semakin tertarik dengan kang Aziz, apalagi dirinya juga sering sekali ditimbali bunyai Tin istri Rohmat untuk membantu di dapur. Tanpa ia sadari, setiap kali di ndalem, gadis mungil itu tidak bisa menahan diri untuk mencuri pandang pada kang santri itu.

…………………….

Siapa yang tahu dengan hati manusia, sedang manusia pemilik hati itu sendiri juga takkan tahu apa yang akan dirasakan hatinya kelak. Begitupun dengan Sherin dan kang Aziz, rupanya apa yang dirasakan oleh hati Sherin itu pula yang dirasakan di hati kang Aziz. Namun ketika kang Aziz memberanikan diri untuk mengungkapkannya, Sherin memilih untuk tidak menjawabnya, meski dalam hati gadis itu sedang bersorak gembira. Perasaan itu ia tahan sekuat tenaga lantaran beberapa hari sebelumnya orang tuanya memberitahunya bahwa mereka sudah menyiapkan calon untuk dirinya.

Sherin bingung. Iapun sebenarnya sudah sanjang ke orang tuanya kalau ada kang santri yang ia sukai dan ingin menikah dengannya. Namun jawaban orang tuanya adalah ia harus menunggu jawaban dari calon Sherin sendiri, dan pada akhirnya hubungan itupun menggantung, baik dengan kang Aziz maupun dengan calon yang disiapkan orang tuanya.

Sampai bulan berikutnya ketika waktu sambaing, orang tua Sherin memberi kabar bahwa apabila kang Aziz serius maka dia harus menghadap langsung pada mereka, karena secara kebetulan ternyata calon Shering pulang dari pesantren dan mempersilahkan santri yang disukai Sherin untuk datang ke rumah sherin. Calon suami Sherin ternyata sedang di jodohkan oleh kyianya, meskipun belum jelas hasilnya.

Dalam satu kesempatan, ketika Sherin mencuci piring sendirian di dapur ndalem dan kebetulan kang Aziz juga masuk ke dapur sebab diutus untuk membuatkan kopi kyai Rohmat, gadis itu memberanikan diri untuk berbicara dengan kang Aziz.

“Kang” panggil Sherin pelan.

“Dalem?” jawab kang Aziz sembari menahan teko air panas yang belum selesai dituangkannya.

“Sampean … yakin remen kaleh kulo?” Tanya Sherin tanpa mengarhkan pandangnnya ke Kang Aziz yang berdiri hanya beberapa meter darinya.

“Iya” jawab kang Aziz dengan mantab.

“Kemarin … saya sudah sanjang ke orang tua ku” cerita Sherin masih tanpa menoleh “mereka berpesan, apabila kang Aziz serius maka kang Aziz harus menghadap ke mereka secara langsung”.

Kali ini kang Aziz tidk langsung menjawab. Sherin sedikit melirik, Nampak kang Aziz sedang berfikir dan merenung untuk meyakinkan dirinya sendiri. Berhadapan langsung dengan seseorang bukan hal baru bagi kang Aziz namun ceritanya berbeda jika ia menghadap demi untuk melamar putri orang tersebut.

……………………..

Kang Aziz ditemani Wildan sahabatnya benar-benar mendatangi orang tua Sherin dan meminta izin untuk boleh meminang putri beliau.

“Sampean betul sudah yakin dengan anak saya?” Tanya ayah Sherin.

inggih saestu” jawab kang Aziz dengan tegas.

“Baiklah, Sampean silahkan pulang. Besok, Sampean akan saya hubungi lagi” ucap ayah Sherin.

Orang tua Sherin berusaha mencari tahu tentang diri kang Aziz tidak hanya sekedar dari cerita anaknya saja. Beliau bertanya pada adik sepupunya yang kebetulan berada di pesantren yang sama tentang teman, keseharian dan juga latar belakang kang Aziz. Adiknya itu mengatakan bahwa kang Aziz adalah orang yang baik dan berahklak mulia serta orang yang patuh, tegas, tanggung jawab dan dewasa.

Ketika hubungan antara Sherin dan kang Aziz sudah direstui oleh orang tua kedua pihak, namun langkah yang lebih serius harus tertunda dikarenakan ternyata bu nyai Iqlima, istri pengasuh utama pondok pesantren Alamtaro sudah punya keinginan untuk menjodohkan Sherin dengan salah satu Ustadz di pondok.

Kala itu, saat kebetulan Sherin ada di asrama, Ia dipanggil dan disuruh untuk menghadap ke ndalem sepuh, kemudian didawuhi tentang segala rencana dan keinginan bunyai atas dirinya. Sherin pun memberanikan diri untuk menjelaskan tentang hubungan dirinya dengan kang Aziz, yang sudah sangat serius terjalin.

Mbuh menang endi pilihanku karo pilihanmu, sebab pilihanku  ini menurutku anaknya baik, sudah mulang di pondok dan mondoknya lebih lama di banding pilihanmu…” dawuh bunyai tin mengakhiri pembicaraan mereka.

Orang tua Sherin akhirnya memanggil kang Aziz dan memberitahunya tentang apa yang didawuhkan bunyai Iqlima pada Sherin beberapa hari lalu tersebut.

Awakmu saiki nang pondok kudune manut opo ae sing dingendikan pakyai bunyai. Nek pancen jodoh, insyaallah pasti ada jalannya sendiri. Belajarlah dengan tekun semua sebab Allah, agar punya ilmu manfaat. Sherin juga begitu sama denganmu. Jadi tidak usah terlalu dipikirkan. Nek pancen jodo mesti bakal gatok dewe”

Sejak saat itu, baik Sherin atau kang Aziz menjadi sangat rajin, baik itu mengaji, beribadah, puasa dan sholat malam. Mereka benar-benar nggetu dan khusyuk berdoa untuk hubungan mereka.

Sedangkan, ustadz Zainal yang sudah dijodohkan bunyai dengan Sherin juga bingung harus bagaimana.

“Piye ki, iz? Manut dawuh bunyai… tapi kok Sherin sudah hubungan dengan kang Aziz sampai sejauh itu?” curhat ustadz Zainal pada ustadz Faiz, teman sekamarnya.

“Berdoa saja agar diberi jawaban yang terbaik untuk kalian bertiga” saran Faiz.

Mendekati bulan ramadhan, kang Aziz memutuskan untuk merantau ke Kalimantan ke rumah salah satu teman seangkatannya. Dia berpikir meskipun hubungannya sementara ini tidak ada kepastian, namun tidak ada salahnya belajar berdagang di sana.

Selain ikut berdagang, di Kalimantan kang Aziz juga membantu mengajar ngaji di salah satu masjid yang dekat dengan rumah temannya.

Satu bulan penuh kang Aziz ada di Kalimantan untuk mencari pengalaman, sedangkan Sherin di pondok mengkhatamkan kitab yang harus selesai dalam 20 hari. Selama jangka waktu ini keduanya harus menahan rindu dan hanya bisa terus-menerus berdoa semoga mereka berjodoh.

Sherin sering menangis menghadapi semua itu. Bingung dan sedih dengan apa yang terjadi, harus bagaimana? Sehingga dia selalu bangun tengah malam dan mengaji untuk menyibukkan hatinya.

Beberapa bulan kemudian kang Aziz ditimbali bunyai Iqlima dan ditanya apa benar-benar cinta karena Allah dan siap menerima segala kekurangan Sherin sampai akhir ?

“Saya sangat sayang dengan Sherin lo, kang Aziz. Jangan sampai Sherin mendapat orang yang tidak tepat nantinya” ucap bunyai Iqlima.

Enggih estu, kulo remen Sherin bunyai” jawab kang Aziz dengan yakin 100%.

Akhirnya, kedua belah pihak dipertemukan dan langsung lamaran tanpa melibatkan Sherin maupun kang Aziz karena masih berada di pesantren, dan hasilnya semua pihak sepakat untuk memilih tanggal 14 Syawal sebagai hari akad nikah mereka.

Keputusan ini diambil sebab hasil istikhoroh bunyai Iqlima dan bunyai Rohmat memberi petunjuk bahwa Sherin dan kang Aziz berjodoh.

Sebelum menikah, kang Aziz diikutkan untuk mengajar di pondok oleh bunyai, sebab beliau berkeinginan nantinya ketika sudah mukim di rumah, kang Aziz tetap ikut mengajar di pesantren. Kang Aziz juga digembleng Al Qur’an, Diba, Barzanji serta manaqib dan masih banyak lagi kitab-kitab yang lain. Tentu tugas utamanya tetap mengajar membaca Al Qur’an putra kyai rohmat.

Sedangkan ustadz Zainal yang tidak jadi dijodohkan dengan Sherin, beberapa tahun kemudian meminang muridnya sendiri dan diterima dengan baik. Merekapun menikah dan sebagaimana kang Aziz, juga tetap istiqomah mengabdi di pondok Alamtaro.

(Selesai)

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilihan OSIS Baru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Semangat Kebersamaan Warnai Upacara Hari Guru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Upacara Hari Pahlawan 2024