Hate to Love

Karya:

Fyza Ichsan Abdullah

(Kelas 8)



Putri Salma Ayuningsih. Seorang gadis remaja berusia 14 tahun yang hobi membaca buku. Dia bersekolah di SMP. Idkholul Ilmu (SMP. IDI). Sekolah SMP yang masih mengajarkan materi ajar agama dalam kurikulumnya. Ningsih saat ini kelas 8 menginjak kelas 9. Saat ini ia sedang melaksanakan ujian kenaikan kelas.

Ningsih seorang gadis yang cukup pendiam. Dia termasuk yang paling pintar di kelasnya. Parasnya sangat cantik nan menawan, sehingga ada banyak siswa laki-laki yang menaruh hati padanya.

Jam menunjukkan pukul 09.55 WIB. Lima menit lagi waktu ujian akan habis. Ningsih sudah menyelesaikan semua soalnya bahkan beberapa menit yang lalu. Namun dia tidak segera mengumpulkan lembar tugasnya dan menunggu waktu habis. Usai ujian, dia bermaksud ke kantin untuk mengisi perut bersama dua sahabatnya, Firda dan Salwa.

Ketiganya duduk satu meja di kantin. Tiba-tiba ada satu siswa laki-laki menyerobot ikut duduk di tengah mereka. Dia Yoga, siswa yang memang sudah terkenal suka menggoda siswi-siswi cantik, terutama Ningsih.

“Hai Ningsih, apa kabar? Lagi sarapan kah?”

“Dah tau, pakai nanya” jawab Ningsih ketus. Dua gadis lainnya juga menampakkan wajah risih dan terganggu dengan kehadiran Yoga.

“Cuek amat sih, Ning?”

“Kamu pergi saja, Yog!” usir Salwa “gak baik tau menggoda lawan jenis!”

“Iya iya, habis ini tak godain sesama jenis” ucap Yoga kesal “eleh gak asik!”

Lalu siswa itu pergi dengan wajah kesal. Ketiga gadis itu nampak lega. Ningsih sangat risih dengan orang-orang yang menggoda dirinya. Ningsi heran, apakah orang-orang itu tidak sadar kalau perbuatan mereka itu dosa?

Soal cinta, Ningsih menganggap bukan hal penting, malah cenderung malas mengurusinya, meski sebenarnya dia sudah memiliki tipenya sendiri. Namun, saat ini prioritasnya adalah belajar sampai lulus, dan selanjutnya setamat SMP dia akan berangkat mondok di pesantren orang tuanya dulu. Begitulah rencana Ningsih yang sudah dibuatnya matang-matang.

Pada sore harinya, di kamarnya, Ningsih membaca buku berjudul ‘Arjunasasrabahu’. Gadis itu memang punya minat membaca buku pewayangan. 

“Ning! Bantu ibu cuci piring!”suara teriakan ibu Ningsih dari arah dapur.

“Enggih, buk. Sekedap”

Ningsih hidup dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai pemetik daun teh di Perkebunan di samping desa. Sedang ibunya menjadi ustadzah TPQ dekat balai desa. Setelah membantu urusan ibunya, Ningsih ingin melanjutkan membaca bukunya namun sudah surup. Dia memilih mengambil air wudhu dan Bersiap shalat maghrib, dilanjut dengan mutholaah kitab Sulam Taufiq bersama ayahnya di ruang tamu. 

Keesokan harinya, Ningsih sudah mulai libur Panjang sekolah selama 2 minggu. Dia tidak punya agenda muluk-muluk. Waktunya dihabiskan untuk membantu ibunya di rumah, membaca buku dan sesekali keluar jika diajak Firda dan Salwa. Sejujurnya dia lebih suka sekolah saja.

Saat liburan usai, dengan sangat semangat Ningsih berangkat kesekolah. Apalagi sekarang di akelas 9. Satu tahun lagi dia akan lulus SMP.

Ningsih berhasil mendapatkan meja berdekatan dengan Firda dan Salwa. Ketiganya asyik mengobrol menunggu guru datang. Beberapa saat kemudian guru yang akan menjadi wali kelas mereka datang, namun beliau tidak sendirian, di belakangnya nampak seorang siswa yang wajahnya asing bagi seluruh kelas. Siswa baru??

“Anak-anak, kita kedatangan teman baru. Dia pindahan dari MTs. Abu Bakar” ucap pak guru, kemudian dia menoleh kea nak laki-laki tadi “silahkan perkenalkan diri”

Anak laki-laki itu beralan ke depan lalu memandangi seluruh kelas.

“Assalamualaikum, nama saya Dimas Maulana Mangkubuwono, dipanggil Dimas” ujarnya memperkenalkan diri.

“Oke Dimas, silahkan duduk di sana” ucap pak guru sembari menunjuk meja yang masih kosong “duduk di samping Zami”

Dimas pun berjalan ke belakang menuju meja yang dimaksud. Lalu siswa baru itu berbalas senyum dengan Zami. Tenyata mereka berdua bertetangga, jadi mereka sudah saling kenal.

“Yow, Dim. Sebelahan kita” sapa Zami dengan gaul.

“Yoi, Bro” balas Dimas.

……………………………

Jam istirahat. Ningsih dan kedua sahabatnya duduk-duduk di taman sekolah.

“Murid baru di kelas kita ganteng banget ya?” ucap Firda membuka obrolan.

“Gak munafik, tapi emang iya loh. Ya kan Ning?” Salwa mengiyakan sembari menanyakan pendapat Ningsih.

“Dimas? B aja tuh” 

Begitulah Ningsih menilai Dimas.

“Terserah kamu Ning, jika kamu terus-menerus begini nanti bisa-bisa gak dapat suami awas loh!” komentar Salwa memperingatkan Ningsih.

“Hush! Nauudzubillahi min dzalik!” Sentak Ningsing sembari neblek keras Pundak Salwa. Temannya itu malah nyengir, sedang Firda malah tertawa lepas melihat tingkah kedua sahabatnya itu. 

…………………….

Satu hari saat jam istirahat, di perpusataan sekolah Dimas sedang membaca novel ‘Dua Barista’ sambil minum soda yang dibelinya di kantin. Dia menempati meja baca di dekat rak novel. Tiba-tiba ada siswa Perempuan yang menyenggol sodanya hingga tumpah dan membasahi novel yang sedang dibacanya.

“Eh?? Gak sengaja. Suwerr, maaf ya” 

Rupanya siswi itu adalah Ningsih, dia terpeleset saat mau mengambil sebuah novel yang agak tinggian tempatnya.

“Maaf maaf? Kalau sudah begini siapa yang mau ganti rugi!” ucap Dimas kesal, sembari menegakkan lagi sodanya dan mengangkat dan mengibas-kibaskan sedikit novelnya yang sudah terlanjur basah.

“Kamu lah! Kan aku gak sengaja. Aku sudah minta maaf tadi” Ningsih membalas dengan muka agak jengkel dengan sikap Dimas.

“Lah kok gitu?? Enak dong!” Dimas sedikit melotot.

“Enak dong!” Ningsih tidak mau mengalah.

Perdebatan mereka lumayan gaduh hingga membuat seluruh pengunjung perpus memandangi mereka. 

“Eh? Kalau tidak salah kamu sekelas denganku kan? Yang katanya paling pintar?” kata Dimas sedikit meledek.

“Iya aku Ningsih. Dan aku belum pintar ya!”

“Terserah. Penting ganti rugi!”

“Iya iya, aku ganti rugi!” balas Ningsih dengan manyun, lalu diraihnya novel Dimas dan dia berjalan meninggalkan Dimas untuk menemui petugas perpus.

“Awas saja lo. Greget saya!” Dimas menggerutu.

Ningsih masih bisa mendengarnya. Menghentikan langkahnya lalu berbalik pada Dimas, “Lo saja baperan. Dasar cowok baperan!”

Dimas beranjak dari tempatnya lalu berjalan cepat melewati Ningsih dan keluar dari perpustakaan. Jika dia berlama-lama di sana, dia bakal semakin jengkel kepada Dimas. 

……………………..

Seiring berjalannya waktu, kepandaian Dimas semakin Nampak. Bahkan berkali-kali siswa baru itu memperoleh nilai tertinggi di kelas, melebihi nilai Ningsih yang selama ini selalu bertengger di puncak. Dan sekarang, gadis itu hamper selalu harus menerima posisi kedua di bawah Dimas.

“Easy banget sih lo!” ejek Dimas saat guru MTK keluar kelas. Dia menghadap kearah Ningsih sambil memamerkan lembar nilainya yang nampak memperoleh 100 poin. Tempat duduknya di pinggir belakang hanya berjarak dua baris dari meja Ningsih dan dua sahabatnya.

“Dih sombong banget sih cuma masalah nilai saja. Lagian menang dan kalah udah biasa” sanggah Ningsih.

“Eleeh, lihat saja nanti besok ujian semester ganjil pastu aku akan juara satu, bwahaha”

“Kita lihat saja nanti!” jawab Ningsih kesal.

Ningsih pun pergi meninggalkan kelas. Sedang Firda dan Salwa dibuat melongo dengan tingkah Ningsih. Baru kali ini mereka melihat Ningsih semarah ini. Keduanya saling berpandangan, saling mengangkat bahu lalu cepat-cepat menyusul Ningsih.

Namun sebenarnya sangat berbeda dengan Dimas. Meski dia bersikap begitu, namun dia menganggap ini adalah Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Anak laki-laki itu sengaja mengompori Ningsih agar gadis itu lebih semangat belajar. Dimas merasa kalau dia tidak akan bisa berkembang tanpa ada pesaing. Dan ternyata berhasil. Ningsih pun jadi lebih bersemangat belajar meski dengan motivasi untuk menghancurkan wajah sombong Dimas.

Hari ujian pun tiba. Ningsih dan Dimas Nampak paling serius mengerjakan soal. Keduanya mengerjakan dengan sangat teliti tanpa menghiraukan sekeliling mereka. Dan waktupun habis, dan tanpa aba-aba keduanya menghempaskan badan mereka ke sandaran kursi bersamaan. Sekali lagi, Firda dan Salwa dibuat saling berpandangan. Chemistry?

“Kayaknya tadi serius banget ngerjainnya, Ning?” ucap Salwa. Dia dan dua sahabatnya duduk bersantai di depan kelas sembari ngepung snack Chiki bertiga.

“Tahu sendiri kan, sekarang ada yang ngimbangin nilaiku..” jawab Ningsih datar.

“Oh Dimas? Duh sudah ganteng pintar lagi..” puji Firda. Ningsih memelototinya. Firda malah tertawa.

“Kayaknya cocok sama kamu deh Ning. Sama-sama jadi inceran, sama-sama pintar..” kata Salwa sambil menyenggolkan pundaknya ke Pundak Ningsih.

“Iya nih, cie cieee” Firda ikut mendorong.

“Aaah gak mauuu! Jijik!!” teriak Ningsih.

“Hah?? Jijik gimana sih? Gayamu Ning!” ejek Salwa.

“Karep kalian, wis!”

…………………………

Sepulang sekolah, Ningsih langsung mand dan ganti baju. Shalat dhuhur lalu rebahan dan menonton tv di ruang Tengah. Tiba-tiba ibunya memanggilnya dari samping. Dia segera bangkit.

“Ning, duduk sini” utus ibunya.

Ningsih segera berjalan mendekat dan duduk di samping ibunya di kursi sofa Panjang. Raut wajah ibunya Nampak serius. Apa ada sesuatu yang terjadi?

“Nduk … sampean masih kecil. Gak usah pacarana ya …”

“Eh? Maksude pripun buk??” Ningsih kebingungan.

“Tadi, saat ibuk belanja ibuk bertemu dengan ibunya Faris. Teman sekelas Ningsih. Terus ibunya Faris sanjang kalau Faris pacarana dengan Ningsih. Katanya Faris ngaku sendiri…”

“Mboten buk. Saestu kulo mboten pacaran” sanggah Ningsih “Faris yang ngaku-ngaku itu!”

“Beneran, nduk?”

“Enggih, buk. Saestu” jawab Ningsih dengan serius.

“Ya sudah, maaf ibuk sudah mengganggu waktu istirahat Ningsih”

“Enggak apa-apa, buk”

…………………………..

Ningsih duduk termangu di kamarnya. Ia tidak habis piker kenapa ada saja orang yang seperti Faris. Ningsih sadar kalau ada banyak orang yang menyukainya, namun mengapa harus ada yang mengaku-aku berpacaran dengannya?

“Astaghfirullah”

Ningsih merasa bersalah pada ibunya karena sudah membuatnya sempat merasa kecewa, meski sebenarnya hal itu bukan kesalahannya.

Malamnya, Ningsih masih saja kepikiran dengan perkataan ibunya tadi siang. Lagi-lagi masalah cinta. Ia tidak ingin menjadi Dewi Sukesih yang banyak raja datang untuk melamarnya hingga menimbulkan perseteruan antara raja-raja itu. Dan akhirnya Ningsih terlelap tidur karena banyaknya maslah yang menumpuk dalam pikirannya.

Di tempat lain, Dimas baru saja selesai belajar. Iapun membaringkan badannya di Kasur, memandangi langit-langit dan tiba-tiba kepikiran Ningsih.

“Menarik”

Dimas memasangkan headset ke telinganya dan memutar lagu A Thousand years lalu terlelap tidur.

…………………………

Keesokan harinya, hari ke 2 ujian ganjil. Ningsih sangat menyesal karena semalam tidak belajar. Akibatnya, saat mengerjakan soal ada beberapa butir yang membuatnya kesulitan.

“Ya Allah … ini gara-gara Faris!” gerutunya dalam hati.

Sedangkan di meja belakang, Dimas nampak mengerjakan soal dengan sangat lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.

Waktu habis, guru mengumpulkan seluruh lembar jawaban dan meninggalkan kelas. Ningsih menggeketakkan kepalanya ke atas meja.

“Tadi kelihatannya kesulitan banget?” suara Dimas lagi-lagi mengejek Ningsih.

Demi mendengar ejekan Dimas, Ningsih langsung mengangkat badannya dan menoleh kearah sumber suara dengan wajah cemberut “Aku tadi malam sibuk gak sempat belajar tau!”

Tanpa sadar, pupil mata Dimas membesar “Beautiful” gumamnya tanpa sadar. Cepat-cepat dia beristighfar.

“Heleh, alesan banget lo. Haha” Dimas meneruskan ejekannya.

“Gak percaya ya udah!”

Ningsih berdiri dan berjalan keluar lalu menghilang entah kemana. Sedang Dimas juga ikut keluar dan berjalan ke lapangan menghampiri Zami yang sudah lebih dulu duduk di sana.

“Lu ama Ningsih ada masalah apa sih, Bro?” tanya Zami penasaran.

“Gak ada urusan sama sekali” jawab Dimas santai.

“Jangan-jangan… lu suka sama Ningsih??” tebak Zami tiba-tiba.

“Dih! Ngarang bet lo!”

“Habisnya, banyak yang suka dengan gadis itu. Dan mungkin kamu belum sadar, namun sejauh ini baru kamu yang bisa berbalas bicara paling lama dengan Ningsih”

“Hah?”

………………………..

Hari pembagian raport semester ganjil. 

Ningsih dan kedua sahabatnya, Firda dan Salwa sudah duduk rapi di meja mereka. Menanti kedatangan wali kelas yang akan membagikan raport hasil ujian semester ganjil. 

Dimas masuk kelas bersama Zaim. Melihatnya, Ningsih langsung membuang muka. Begitu pula dengan Dimas. lalu tak lama wali kelas masuk dengan membawa tumpukan raport cukup banyak.

“Deg-degan banget ya” ucap Ningsih.

“Eleh Ning, pasti kamu lagi kok yang rangking satu” ujar Salwa. 

“Belum tentu, Da. Kan sekarang ada si Dimas…” sahut Firda.

Semua siswa Nampak tegang. Kebanyakan hanya berpikir agar mendapat nilai yang mencukupi KKM saja, namun berbeda dengan Ningsih. Dia harus memperoleh peringkat satu apapun yang terjadi, semua demi membungkam si Dimas.

“Assalamualaikum, anak-anak” salam pak Haidi, wali kelas 9 “Alhamdulillah hasil ujian kalian telah keluar, dan langsung saja sebelum membagikan bapak akan bacakan siswa yang memperoleh peringkat satu, dua dan tiga”

Seisi kelas terdiam.

“Dimulai dari peringkat tiga; Putra Zuan Baroya. Peringkat dua; Putri Salma Ayuningsih, dan peringkat pertama; Dimas Maulana Mangkubuwono. Bapak harap semua menerima hasil ujian ini” 

Pak Haidi selesai mengumumkan para juara. Kemudian satu persatu siswa dipanggil dan menerima raport mereka. Ada yang mengucap hamdalah sebab mendapat nilai cukup bagus, namun ada juga yang nelangsa sebab memperoleh nilai jelek. Kemudian pak Haidi membubarkan kelas dan sekolah pulang lebih awal.

“Wih keren lo, Bro. bisa mengalahkan Ningsih, padahal kamu murid baru” sanjung Zami.

“Alhamdulillah, bro”

Sementara itu di meja lainnya, Salwa dan Firda cukup kaget ternyata ada yang benar-benar bisa mengalahkan Ningsih. Padahal sahabatnya iru juara bertahan semenjak kelas 7.

“Yah… juara 2, Ning” sedih Salwa.

“Gak papa kok, Wa. Ini udah bagus kok” ucap Ningsih berpura-pura baik-baik saja, meski dia tidak bisa berbohong jika dia sangat kecewa dengan hasil ujiannya tersebut.

“Keep strong, Ningsih” Firda memberi semangat kepada Ningsih.

“Makasih” senyum Ningsih.

Ketiganya memasukkan raport mereka kedalam ransel dan bersiap untuk beranjak pulang. Dari belakang Dimas menghampiri Ningsih, di susul Zami di belakangnya.

“Selamat ya dapet rank 2” ucap Dimas sambil tersenyum.

“Ceritanya mau mengejek ya?” tanya Ningsih dengan muka musam.

“Loh? Kok ngejek sih? Tapi aku ngucapin selamat. S E L A M A T”

“Ya, makasih” balas Ningsih singkat, lalu langsung melenggang keluar. Firda dan Salwa segera berlari menyusulnya.

“Parah lo, Dim!” 

“Hah??”

…………………………..

Libur semester ganjil. 

Satu hari, saat Ningsih bersantai di rumah ibu dan ayahnya mengajaknya keluar. Katanya Ningsih diajak shilaturahim  dengan sahabat lama ibunya sewaktu mondok dulu. Ya, ibu Ningsih dulu mondok di ponpes An Nur, pondok yang juga akan menjadi tujuan Ningsih setamat SMP.

Rupanya, Ningsih diajak kesebuah Café. Disana sudah menunggu sepasang bapak ibu dan seorang anak laki-laki yang nampaknya seusia dengan Ningsih. dan saat semakin dekat, betapa kagetnya kalau ternyata anak laki-laki itu adalah Dimas. musuh bebuyutannya.

Di sisi lain, Dimas juga nampak sangat terkejut dengan siapa yang datang. Siapa sangka kalau teman mondok orang tuanya tak lain adalah orang tua Ningsih, teman sekelas yang selama ini dia ganggu setiap waktu. Alhasil pertemuan keduanya terasa sangat canggung. 

“Ya Allah.. Susi. Lama sekali kita gak ketemu!” ucap ibu Ningsih.

“Iya. Kangen loh” jawab ibu Dimas “kamu apa kabar?” 

“Baik, Sus. Eh ini anak kamu? Sepertinya anak kita sepantaran ya?”

“Iya, dia teman sekelas sama anak kamu loh”

“Bener temen sekelas, Ning?” ibu Ningsih beralih bertanya pada anaknya.

“Enggih, Bu”

“Kok gak disapa?”

“Hehe”

Kedua keluarga itupun saling berbincang cukup lama. Ibu Dimas dan ibu Ningsih mengenang masa-masa mondoknya mereka dulu. Sedang ayah mereka membahas urusan bisnis yang rencananya akan mereka kerjakan bersama. Namun, Dimas dan Ningsih malah sama-sama diam. Ada kecanggungan luar biasa antara mereka berdua. Jika dipikir-pikir selama ini komunikasi mereka selalu diisi dengan cekcok dan permusuhan.

Dimas mencoba memulai obrolan,

“Besok sekolah masuk ya?”

“Iyalah” jawab Ningsih singkat. Lalu keduanya sama-sama Kembali terdiam, bingung mau membahas apa. Dan kondisi seperti itu berlangsung hingga mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.

……………….

Keesokan harinya, di sekolah.

Dimas duduk di depan kelas. Dari kejauhan dia melihat Ningsih dan 2 kawannya sedang duduk-duduk di bawah pohon samping lapangan. Ningsih sedang mengupas apel dengan pisau kecil.

“Siapa sangka jika hubungan orang tua kami menjadi kebalikan dari kami sendiri…” gumam Dimas dalam hati.

Dilihatnya Ningsih, masih mengupas apel. Jika diamati lagi, gadis itu memang sangat cantik. Diapun tidak pernah jaim. Apa adanya, bahkan cenderung cuek dengan anak laki-laki. Dia memang ambisius dan terlalu fokus dengan akademisnya, namun bukankah itu malah bagus?. Ah andai saja sikapku tidak begini padanya …

Jam istirahat masih lama. Ningsih masih ngobrol asyik dengan Salwa dan Firda. Dan saking asyiknya bercanda, tanpa sengaja Ningsih menggores jarinya sendiri hingga berdarah lumayan dalam.

“Aduh!”

“Hei, Ning. Jarimu berdarah!”

Ningsih merintih menahan jarinya yang mulai terasa perih. 

“Cepat pinjam betadine dan kapas di UKS, Da”

Firda akan beranjak ke UKS yang ruangannya berdampingan dengan kelas mereka, namun dia terhenti sebab di depannya sudah ada Dimas. Anak laki-laki itu berdiri sambil menjulurkan sesuatu,

“Ini betadine dan kapasnya” ucap Dimas sembari menyerahkannya pada Salwa.

Dengan cekatan Salwa membersihkan luka Ningsih, memberinya betadine lalu membalutnya dengan kapas. 

Ningsih mendongak pada Dimas untuk mengucap terimakasih, namun tertahan sebab kecanggungannya sendiri.

“Sudah tidak apa-apa?” tanya Dimas.

“I.. iya..” jawab Ningsih “mm, terimakasih, Dim”

“Iya, sama-sama” jawab Dimas sambil tersenyum.

Ningsih yang melihat Dimas tersenyum seperti itu jadi salah tingkah. Wajahnya memerah, segera dia berpaling dan mengajak Salwa dan Firda kembali ke kelas. Dia malu kalau sampai Dimas menyadari wajanya memerah begitu. “Apa yang sedang kurasakan ini??” batinnya.

Tinggal Dimas sendirian di sana. Tiba-tiba Zami muncul entah dari mana. 

“Weh weh, tadi itu romantis banget brow!!!” serunya heboh.

“Apa sih, Zam. Gue cuma nolongin dia” Dimas menanggapi sambil mulai melangkah menuju kea rah kelas mereka.

“Cieee, lalu kenapa pakai senyum-senyum sendiri begitu? Akui saja kalau kau suka dengan Ningsih!”

“Hmm. Gak kok, paling” jawab Dimas. Meski dia sendiri bertanya-tanya, apa iya dia mulai suka dengan Ningsih?

…………………….

Di teras rumah, Ningsih duduk sendirian menatap ke arah jalan. Dia termenung sendiri, tentang Dimas dan tentang perasaannya. Dan dia harus jujur, bahwa Dimas adalah orang yang sesuai dengan tipe yang sudah dia tentukan. Tampan, ambisius dan pintar. Apalagi orang tua mereka berkenalan akrab. Dan saat ini dia selalu malu untuk bertatapan dengannya, namun dalam hati yang paling dalam ingin sekali dia bisa mengobrol dengan Dimas, dengan obrolan yang normal tentunya. Bukan saling ejek seperti selama ini.

“Apa aku sedang jatuh cinta??”

“Hayo! Ngelamun apa to, nduk?”

Suara ibunya membuyarkan lamunan Ningsih. Gadis itu dibuat salah tingkah. Ibunya segera duduk di sampingnya.

“Buk, sepertinya aku suka dengan seseorang. Tapi cuma suka, bukan berarti aku pengen pacarana!” cerita Ningsih dengan hati-hati “kata ibuk kan rasa suka itu manusiawi kan?”

“Ya Allah, sampean seneng soo? Jangan-jangan Dimas ya?”

“Kok??” Ningsih jadi semakin salah tingkah dengan tebakan ibunya.

“Ibuk sudah tahu dari pertemuan kita kemarin dengan keluarga Dimas. kalian sama-sama nampak canggung, dan jika boleh ibuk tebak sebenarnya apa yang kamu rasakan kemungkinan besar juga sedang dirasakan Dimas, nduk”

“Masak, buk??”

“Tapi kamu belum cukup umur untuk mengurusi masalah seperti ini. Doain saja. Gak usah pacaran. Kalau memang kelak berjodoh ya alhamdulillah. Jangan sampai mengganggu belajarmu” 

Ningsih yang mendengar pesan-pesan ibunya itu jadi merasa malu.

“Enggih, buk”

Semenjak itu, Ningsih selalu menyematkan nama Dimas dalam setiap doanya. Cinta di umurnya saat ini bukanlah untuk diperjuangkan, namun cukup sebatas untuk didoakan. Sebab cinta yang patut mereka perjuangkan adalah saat mereka sudah siap dan sudah layak untuk melaksanakan akad pernikahan. Begitulah keyakinan Ningsih saat ini.

………………………

Saat kelulusan sekolah. Dan kelas ditutup dengan Dimas sebagai peringkat pertama dan Ningsih di peringkat kedua. Namun kali ini tidak ada saling ejek, keduanya memilih untuk saling menyemangati, dan tanpa mereka ketahui sebenarnya masing-masing dari mereka merasakan rasa yang sama. Namun keduanya memilih untuk tidak menyampaikan, sebab takut perasaan suci mereka terbuang percuma di usia mereka saat ini.

Selepas perpisahan nanti, Ningsih akan melanjutkan pendidikannya ke pesantren An Nur, sesuai dengan rencananya sejak awal. Sedang Dimas melanjutkan ke SMA Plus Islamiyah dan mengambil jurusan tahfidz. Dan untuk terakhir kali, sebelum mereka akan bertemu dalam momen yang berbeda kelak di masa depan, Ningsih dan Dimas cukup berbalas senyum dan saling mendoakan dalam hati.

“Semoga ‘qobiltu’ terucap di antara kita”

(Selesai)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilihan OSIS Baru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Semangat Kebersamaan Warnai Upacara Hari Guru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Upacara Hari Pahlawan 2024