Teror Ghaib
Cerpen Terbaik Kelas 8
Karya: A. Musthafa Ibrahim
Sudah pukul 21.00 WIB. Keadaan sekitar lumayan gelap. Baim, Ican dan Zaki, tiga santri PP. MMI itu akhirnya sampai di suatu desa di tengah hutan, setelah beberapa hari lalu mereka diutus Kyai mereka, K. Muhammad Ihsanuddin, S.Si, M.Pd untuk pergi ke desa teman beliau yang seorang kyai juga. Mereka bertiga disuruh ngadam kepada kyai tersebut selama beberapa hari.
“Suwun, Ka. Sudah mengantar kami sampai sini” ucap Ican sembari memegangi jendela mobil. Kang Deska, supir ndalem, yang ada di dalam mengacungkan jempolnya.
“Ya wis. Aku tak balik dulu ya” jawab kang Deska sembari menjalankan mobil tepaknya, yang kemudian sekali belok di tikungan sudah tidak nampak lagi dari pandangan mereka.
“Ayo masuk” ajak Ican pada kedua temannya, sambil mendahului jalan.
Merekapun berjalan bersama memasuki gapura desa dan menyusuri jalan poros desa. Keadaan sekitar cukup gelap, untungnya di sepanjang jalan ada penerangan yang cukup.
Mereka sempat menghampiri seorang warga yang kebetulan lewat untuk bertanya di mana kediaman Kyai teman pengasuh pesantren mereka.
“Permisi, pak. Nderek tangkled” sapa Baim sopan “ndalemnya Kyai sekitar sini di mana ya?”
Si bapak berpaling menunjuk ke suatu arah.
“Oh ya, di sebelah sana mas, nanti habis belokan ada mushola di ujung jalan” ucap si bapak.
“Oh enggih, matur suwun pak”
Mereka bertigapun bergegas melanjutkan langkah menuju arah yang dijelaskan si bapak tadi. Di balik belokan, mereka melihat sebuah mushola sederhana di ujung jalan. Nampaknya itu mushola yang dimaksud si bapak tadi. Dan ketiganyapun meneruskan jalan menuju mushola tersebut.
Mushola sederhana itu terbuat dari kayu. Berbentuk panggung, dengan ukuran sekitar 6x8 meter. Cukup besar untuk ukuran mushola di sebuah desa di tengah hutan seperti ini.
Halaman mushola cukup luas, dan bersih, dengan pepohonan mangga rindang yang sedang berbuah lebat. Di utara mushola ada sebuah rumah joglo tua, dan sepertinya itulah ndalem abah kyai yang sedang mereka cari.
“Tok tok tok”
Zaki mengetuk pintu pelan “Assalamualaikum…”
Tak selang beberapa lama, dari dalam terdengar suara balasan,
“Waalaikumsalam”
Pintu terbuka, dan dari baliknya muncul seorang remaja putri dengan sarung batik, baju tunik dan berjilbab. Cantik.
“Cari siapa ya?” tanyanya kemudian.
“Nyuwun sewu, apakah abah yai ada di ndalem?” Zaki bertanya.
“Oh ada. Akan saya panggilkan” jawab remaja putri itu sambil membuka lebar pintunya “silahkan masuk”
Zaki dan kedua temannyapun masuk kedalam. Sedang pemuda tadi berjalan lurus kedalam rumah untuk memanggilkan pak kyai.
Ruang tamunya tidak terlalu luas namun juga tidak sempit. Cukup untuk serangkai kursi panjang dan meja, dan masih menyisakan sisa ruang yang cukup lebar untuk lalu-lalang orang rumah. Zaki dan kedua kawannya duduk rapi menunggu yang si empunya rumah, sembari mengawasi sekeliling ruang.
Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki berusia 50’an tahun muncul dan memandang ketiga santri tersebut. Dengan cepat Ican, Baim dan Zaki segera bangkit dan meraih tangan pria tersebut serta kemudian menciumnya dengan takdzim.
“Kalian bertiga santrinya kyai Ihsan to?” tanyanya.
“Enggih” jawab mereka bertiga kompak.
Pak kyai duduk di kursi paling depan. “Saya sudah tahu kalian mau datang. Tadi habis dikabari kyai kalian. Jadi, nama kalian bertiga siapa?”
“Nami kulo Ican, bah” jawab Ican yag posisi duduknya paling dekat dengan pak kyai “ini Baim dan yang ini Zaki”
Abah yai mengangguk faham, “Nama saya Akom, Akomaddin lengkapnya. Dulu saya nyantri bareng kyai kalian saat di Malang.” ceritanya, “Nah untuk sekarang, silahkan letakkan barang kalian di kamar kalian” perintahnya kemudian sambil bangkit dan mau berjalan ke arah pintu depan. Ketiga santri itu mengekor saja dari belakang.
“Ngapuntene, kami bantu apa, abah yai?” Tanya Baim.
“Besok akan tahu sendiri” jawab yai Akom, “kamar kalian ada di belakang mushola itu. Nanti akan ada yang mengantar kalian. Silahkan ditempati dan anggap saja rumah kalian sendiri. Wis biasa tidur di pondok kan?”
“Enggih”
Dan ketiganyapun segera pamit untuk menuju ke kamar yang dimaksud abah yai tadi.
Tak jauh dari ndalem, sudah ada remaja putri yang tadi menerima kedatangan mereka.
“Kalian santri abah yai Ihsan ya?” tanyanya “namaku Ais, santriyat di sini. Mari saya antar ke kamar kalian”
Mereka bertigapun mengikuti Ais dari belakang.
Beberapa langkah, Baim tak sengaja melihat ada sesuatu yang berkilau di tanah. Sebuah benda logam bulat. Awalnya dia kira sebuah koin, namun saat dia menjumputnya ternyata sebuah cincin. Ukurannya pas dengan jarinya, dan ada ukiran, dan matanya berwarna biru. Karena menurutnya bagus, maka dia bawa dan mengenakannya di jarinya.
“Silahkan” kata Ais kemudian meninggalkan mereka bertiga dan berjalan kembali ke ndalem.
“Ayu, ya..” bisik Ican pada kedua temannya, sambil matanya mengikuti arah berjalan Ais. Sedang Baim dan Zaki hanya cengar cengir dan ikut menatap santriyat itu sampai tidak nampak lagi.
Di ujung mushola, di sebelah luar utara imaman ada sebuah kamar yang cukup luas untuk ditempati 4 orang. Saat masuk kedalam, ternyata di dalamnya sedang ada seorang kang santri sedang bersantai.
“Monggo masuk” ucap kang santri itu sambil bangun dari rebahannya. Ican dan kawan-kawannya segera masuk, meletakkan barangnya dan bergantian menyalami si kang santri. Kemudian duduk menghadap-hadapan.
“Namaku Fadil. Aku ngadam di sini. Kalau boleh tahu, kalian?”
“Aku Ican dari Malang” jawab Ican, “Ini Baim dari Bojonegoro dan Zaki dari Jakarta. Kami diutus kyai kami, abah yai Ihsan, untuk ngadam beberapa hari kepada abah yai Akom”
Kemudian, Fadil bercerita bahwa sebenarnya dia bersama 3 temannya di kamar tersebut, namun ketiganya sedang pulang. Dia dan ketiga temannya itu sudah 4 tahun nyantri kepada abah yai Akom. Di ndalem ada 7 santriyat termasuk Ais yang tadi mengantar mereka. Kesemuanya ikut membantu tugas-tugas ndalem. Sedang dia sendiri biasanya diutus abah yai untuk ikut mengisi ngaji di mushola.
“Oh ya, apakah kalian sudah makan?” Tanya Fadil menyudahi ceritanya.
Ican dan yang lain hanya tersenyum saling berpandangan. Ketiganya memang belum sempat makan saat harus berangkat dari pondok siang tadi.
“Ya sudah, ayo ke dapur ndalem. Tak antar untuk makan” Kang Fadil segera bangkit, mengambil peci dan kemudian berjalan keluar. Ican dan lainnya mengikuti saja, karena memang perut mereka sudah keroncongan.
Dapur ndalem posisinya di belaknag ndalem. Di sampingnya ada tumpukan kayu bakar dan kebun berisi beberapa macam sayur-mayur. Ada tiga santriyat yang sedang memetik sayur untuk masak besok.
Di sebelah sampingnya lagi ada kandang sapi dan kambing, ternak abah yai. Sedang di dalam, ada Ais dan 3 santriyat lain sedang meracik bumbu dan lauk.
“Ais, ada makan? Ini teman kita biar makan lebih dulu”
Ais segera menyiapkan 3 piring, nasi dan lauk-pauknya. Sedang Fadil, Ican, Baim dan Zaki menunggu sambil duduk di dekat pintu.
Dapurnya sangat luas, dan sudah dimester. Ada beberapa pawon kayu bakar dan kompor LPG. Ditata sangat rapi. Di ujung dalam dapur, ada pintu yang nampaknya menyambung ke ndalem.
“Monggo, kang” ucap Ais mempersilahkan “Tidak usah sungkan-sungkan”
Ican dan lainnya, tanpa sungkan, segera mengambil nasi dan lauk dan melahapnya dengan semangat. Enak.
“Kalian tahu?, aslinya desa ini kena terror” kata Fadil tiba-tiba. Ican dan lainnya langsung berhenti demi mendengar kalimat itu.
“Teror??”
“Iya. Desa ini sekarang sedang diteror makhluk halus. Kadang ada yang kesurupan. Ada yang dilihatin apa begitu dan kemudian besoknya jatuh demam. Namun penyakitnya tidak bisa dideteksi orang dari polindes” cerita Fadil.
“Nggak bisa dideteksi? Maksudnya??”
“Maksudnya dokter tidak bisa memutuskan penyakit apa yang diderita banyak penduduk di sini” Ais ikut menjelaskan, tanpa meninggalkan kesibukannya memasak bersama teman santriyat yang lain.
“Bahkan teman kami juga kena”
“Teman??”
“Iya, teman kami. 3 orang teman sekamarku yang sedang pulang kampong” jawab Fadil “dan kalian kesini mengganti mereka”
“Memangnya, abah yai tidak bisa mengobati mereka?” Tanya Zaki penasaran.
“Sstt! Jangan keras-keras.” Ais memperingatkan, “Abah yai sudah capek, butuh istirahat karena sudah mengobati warga desa”.
Semuanya terdiam.
“Pokoknya, agar kita tidak diganggu, kita harus banyakin sholat, doa dan jangan keluar di atas jam 10 malam”
“Kenapa tidak boleh??” Tanya Baim mengejar.
Tiba-tiba 3 santriyat yang tadi di luar berlarian masuk ke dalam dapur. Semuanya kaget.
“ADA KUYANG DI ATAS KANDANG ABAH!!!”
Sontak semuanya berdiri. Fadil, Ican, Baim dan Zaki langsung berlari keluar menuju kandang. Namun ternyata di sana sudah tidak ada penampakan kuyang lagi.
“Sudah tidak ada…” kata Fadil.
“Tadi beneran ada, dia terbang di atas atap kandang, kang!” kata salah satu santriyat tadi sambil berdiri di balik dalam pintu.
“Ayo kita periksa!” ajak Fadil “Takutnya, ini ternak dimakan kuyang lagi”
“Loh? Memang ternaknya abah yai pernah dimakan kuyang??” Tanya Zaki campur kaget.
“Pernah. Bahkan sampai 3 kali”.
Mereka segera memeriksa kandang. Fadil dan Ican masuk ke dalam. Mereka periksa satu-persatu. Nampaknya aman, tidak ada yang mati. Sedang Zaki dan Baim memeriksa di luar, sekitar kebun dan semak-semak.
“Itu! Itu kuyang!!” teriak Baim menunjuk ke atas. Ada kuyang yang bertengger di dahan pohon kelapa di ujung kebun ndalem.
Semuanya berlarian ke arah Baim.
“Mana??”
“Mana kuyangnya??”
“Itu! Di pohon kelapa!” Baim menunjuk-nunjuk pohon kelapa tadi. Fadil dan yang lain masih mencari-cari namun tak melihat ada penampakan kuyang. Sedang Baim masih saja menunjuk ke arah yang sama.
“Grauuurrrrr!!!!”
Suara macan terdengar keras sekali, entah dari mana asalnya. Semuanya tersentak.
“I...it..itu... Tadi beneran suara macan??” ucap Zaki bergidik.
“LARI!!!!” terika Ican mendahului berlari. Semuanyapun berlari masuk ke dapur dan menutup pintunya rapat-rapat.
……………..
Esoknya, manjing shubuh Fadil dan yang lain baru berani keluar ndalem dan berjalan ke kamar mereka. Semuanya masih shock dengan kejadian tadi malam, termasuk para santriyat yang juga ikutan tidak bisa tidur karena ketakutan luar biasa.
Bakda shubuh, Baim diutus abah yai mengambil air dari sumur desa yang lokasinya lumayan jauh dari ndalem. Sedang Ican dan Zaki diutus membantu isah-isah di dapur.
Saat sudah mendekati sumur, Baim melihat ada seorang kakek sedang duduk di pinggir sumur. Saat orang itu menyadari kedatangan Baim, dia langsung berlari dari sana seolah sedang ketakutan melihat hantu.
“Kenapa kakek tadi??”
“Kenapa dengan orang tadi?” batin Baim kebingungan.
Saat hendak mengambil air, Baim baru menyadari ada tali yang dibentuk seperti kalung dan dengan kayu yang digantung pada tali tersebut. Benda itu tergeletak di pinggiran sumur tempat orang tadi duduk.
“Jangan-jangan ini milik orang tadi??”
Setelah mengambil air nanti dia berniat akan menanyakannya pada warga yang bisa ditemuinya di jalan.
Saat dia menimba air, dilihatnya air dalam bak timba nampak bening dan segar. Karena haus, diambilnya sedikit air dengan kedua tapak tangannya dan meminumnya. Saat air melewati tenggorokannya, tiba-tiba dia merasakan hawa dingin di seluruh tubuhnya dan penglihatannya menjadi biru. Setelahnya, secara mendadak penglighatannya berubh menajam dan menuju kedalam hutan. Ia bisa melihat ada sebuah pondok kecil di tengah hutan dan di dalamnya ada orang yang sedang komat-kamit dengan banyak lilin di sekelilingnya. Orang itu seolah tersadar sedang di awasi lalu dia menatap ke arah Baim dan seketika penglihatannya kembali normal.
“Astaghfirullahaladzim!” ucap Baim sambil memegangi bibir sumur. Siapa orang yang dilihatnya tadi?? Maka Baim memutuskan untuk segera balik setelah jerigennya terisi penuh. Dan dia sudah melupakan benda yang sempat dia temukan tadi.
……………..
Keesokannya, Baim diutus abah yai untuk menemani Ais dan satu santriyat lain ke pasar, membantu mereka membawa belanjaan nanti. Ketiganya menaiki 2 sepedah motor. Ais berboncengan dengan temannya dan Baim menaiki motor sendirian. Lokasi pasar ada di tengah desa. Warga desa menyebutnya pasar templek, sebab lokasinya hanay menempel (nemplek) di pinggiran jalan, dan para penjualnya hanya buka mulai bakda subuh sampai jam 10 pagi saja, setelahnya seluruh penjual itu sudah bubaran.
10 menitan mereka sudah sampai di lokasi. Ais dan temannya berjalan lebih dulu. Baim mengekor saja.
“Is, di desa ini ada pondok kecil di tengah hutan sana atau tidak?” Tanya Baim.
“Pondok, kang?” Ais malah balik bertanya. Dia memandang temannya, dan temannya itu menggeleng. “Nggak tahu ya kang. Soalnya warga desa tidak ada yang berani masuk kedalam hutan sana”
Mendengar itu Baim hanya mengangguk. Ais terheran, “memangnya ada apa?”
Akhirnya, Baim menceritakan apa yang dialaminya kemarin. Ais dan temannya menyimaknya dengan terheran. Takjub dan sulit percaya.
“Kok bisa? Sampean punya mata batin, kang??”
“Ya enggaklah. Jika iya, bisa pingsan di jalan aku ini, sebab melihat jin-jin berseliweran di mana-mana!”
Ais dan temannya membeli beberapa bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya utnuk dapur ndalem. Sedang Baim mengawasi dari kejauhan, standby jika disuruh membawakan belanjaan mereka.
Tak selang lama, Baim melihat ada seekor kucing putih yang sedang mengendus-endus mencari makanan di pinggiran jalan. Kucing itu nampak sedang lapar. Baim segera mmbeli beberapa sosis di toko dekat parkiran dan memberikannya pada kucing itu. Dan kucing itu memakannya dengan sangat lahap.
“Sepertinya kamu lapar sekali, cing?”
“Hei ngapain ngomong dengan kucing kang!” tegur Ais sambil tersenyum. Diserahkannya sekeresek besar belanjaan pada Baim. Sedang temannya sudah membawa dua keresek belanjaan lagi. “Monggo balik kang”
“Siapp”
Mereka berombongan kembali ke ndalem. Sampai di depan, motor mereka tuntun. Dan Baim dikagetkan dengan seekor kuicing yang duduk di teras ndalem. Bukannya itu kucing putih yang dia beri makan di pasar tadi?
“Kok bisa di sini???”
Mereka bertiga heran. Ais dan temannya berlalu ke dapur membawa seluruh belanjaan. Sedang Baim memandangi kucing itu lalu memutuskan untuk mengarawatnya.
……………..
Seminggu berlalu. Dan terror di desa yang ditempati Baim dkk semakin menjadi. Dan saat ini bukan hanya penampakan dan sakit demam, namun ada yang kena santet berupa penyakit-penyakit yang semakin aneh dan bermacam-macam. Pihak dinas kesehatan sudah turun tangan, namun mereka tidak bisa banyak membantu dan malah dibuat kebingungan dengan fakta aneh yang terjadi di desa itu.
“Sepertinya, ada orang yang sengaja meneror desa ini!” kata Ican menyimpulkan, sambil menyeruput kopi di serambi mushola, bakda isyak, bersama Zaki, Baim dan Fadil.
“Aku juga berpikiran begitu” ucap Fadil menyetujui. Zaki dan Baim mengangguk, ikut mengiyakan.
Tiba-tiba, dari kejauhan ada suara ramai warga. Suara mereka semakin mendekat. Dan Nampak ada banyak warga yang menyusur jalan dengan menyalakan senter dan memanggili nama seseorang.
“Kenapa ada banyak warga yang rame-rame membawa senter??” Ican bangkit dan berjalan ke depan. Yang lain ikut menghampiri.
“Apa mungkin ada orang yang hilang??” kata Zaki menebak.
Mereka menghampiri salah satu warga yang Nampak sedang kebingungan dan gelisah, menyorotkan senternya kemana-mana seraya meneriakkan sebuah nama.
“Nyuwun sewu . ada apa?”
“Ini mas. Ada anak warga yang hilang. Sejak surup tadi belum pulang. Dicari kemanapun belum juga ketemu”
“Oh gih suwun pak”
Si bapak melanjutkan mencari, bersama warga lainnya. Ican dan lainnya memutuskan ikut mencari. Keempatnya terus mencari di setiap sudut hingga sampai di tepi hutan. Pun beberapa warga lainnya. Semuanya menghentikan langkah dan menyoroti bagian dalam hutan dari kejauhan.
“Hei, tidak ada yang mencari kedalam hutan?” Zaki terheran.
“Katanya hutan ini angker, makanya tidak ada yang berani masuk” jawab Baim yang kemarin sudah diberitahu Ais tentang hutan itu.
Setelah berembuk beberapa lama, akhirnya para warga sepakat mencari bersama-sama kedalam hutan. Pun Ican dan lainnya, mereka ikut masuk ke hutan.
Pepohonannya besar-besar, dan ada banyak sekali semak sebab tidak pernah terjamah manusia. Para warga harus mengecek setiap semak lantaran saking lebatnya. Namun setelah mencari selama 3 jam namun anak itu tetap tidak ditemukan.
Baim yang berkelompok dengan 3 temannya melihat di kejauhan, samar-samar dia melihat kucingnya yang berlarian masuk lebih dalam ke hutan. Baim kaget dan bingung. Sehausnya kucing itu sedang ada di ndalem. Dia berusaha memberitahu teman-temannya dan menunjuki arah kucing itu, namun mereka semua tidak ada yang bisa melihatnya.
Baim pun mengejarnya sendiri. Ican meneriakinya, namun Baim tidak memperdulikannya dan tetap mengejar kucing itu, jangan sampai kehilangan jejak.
Meski mengejarnya secepat apapun, dan sudah cukup jauh mengejarnya, dia tetap saja kehilangan jejak kucingnya, seolah kucing itu menghilang begitu saja. Namun, tak jauh dari tempatnya berdiri dia melihat ada sebuah pondok kecil, persis seperti yang kemarin dia lihat saat di sumur desa.
Pelan-pelan, Baim mendekat. Dari dalam pondok, sekilas nampak ada sedikit penerangan, yang berarti ada orang di dalamnya. Baim mengintip dari balik celah, dia terkaget, sebab di dalam dia melihat seorang kakek dan di depannya ada anak kecil yang sedang dibaringkan di sebuah kursi panjang, tak bergerak. Kakek itu sedang komat-kamit membaca sesuatu.
Baim langsung menuju pintu, dan mendobraknya keras-keras. Si kakek terlihat kaget gelagapan dan langsung mojok ke pojokan pondok. Baim akan berlari mengambil si anak, namun tiba-tiba ada suara kucing keras mengeong dari atas.
Baim mendongak, Nampak ada seekor kucing hitam memelototinya dengan marah. Lalu kucing itu melompat ke bawah dan tiba-tiba ukurannya membesar dan berubah menjadi seekor macan kumbang. Macan itu meraung keras dan hendak menerkam Baim.
Baim pelan-pelan mundur. Dia tidak mungkin bisa menang berkelahi dengan macan itu. Namun, dari belakang tiba-tiba terdengar raungan yang tidak kalah keras. Baim langsung berbalik, sudah ada seekor macan putih besar di hadapannya. Lalu macan putih itu menerjang ke badan macan kumbang dan keduanya bertarung dahsyat.
Baim tidak sepenuhnya faham dengan apa yang sedang terjadi. Dilihatnya si kakek membopong badan anak kecil tadi dan berlari lewat pintu samping. Baim langsung mengejarnya.
Dari kejauhan, Baim melihat sorot senter para warga. Cepat-cepat dia kelebatkan sorotnya ke arah si kakek sambil berteriak keras. Ican dan yang lain yang menyadari keberadaan Baim yang sempat hilang tadi langsung mengejar. Para warga juga berhamburan berlari mengikuti Ican dkk.
“Hei itu anak yang kita cari!!” teriak salah satu warga menunjuki kakek-kakek yang berlari dikejar Baim dkk. Beberapa warga berlari memutar dan berhasil mengepung si kakek. Segera mereka tangkap dan mengikat kakek itu kuat-kuat dengan akar dan ranting basah seadanya. Si anak dalam keadaan pingsan.
“Ayo kita bawa dia keluar hutan!” pimpin seorang warga. Lalu semuanya berjalan keluar hutan dengan membawa si anak dan kakek pelaku penculikan. Mereka mengaraknya sampai di halaman mushola abah yai Akom. Di sana sudah ada banyak sekali warga yang berkumpul, sebab mendengar kalau pelaku peneror desa sudah tertangkap.
“Makasih ya mas sudah membantu menyelamatkan anak saya…” ucap seorang bapak-bapak menyalami tangan Baim. Dia ayah si anak.
“Sama-sama pak. Ini berkat bantuan para warga” jawab Baim bijak. Teman-temannya yang lain menepukinya dengan bangga.
Beberapa warga mendekat. “Masnya ini kok bisa tahu kalau kakek itu yang menculik?”
“Saya sempat mengintip waktu menemukan pondokan itu pak”
Bebrapa warga itu menyerebak, membukakan jalan untuk seseorang. Nampak Abah yai Akom berjalan menghampiri mereka. Baim terkejut melihat abah Akom sedang menggendong kucing putihnya, dan dia baru sadar kalau macan putih yang menyelamatkannya waktu di pondok tengah hutan tadi ternyata sangat mirip dengan kucingnya itu.
“Terimakasih sudah membantu, Baim. Juga kang-kang yang lain. Si kakek itu biar diserahkan ke aparat desa. Sekarang kita kembali ke hutan untuk mengambil beberapa barang”
“Barang apa, bah??” Ican bertanya bingung. Para santri lain juga tidak faham, termasuk Baim.
“Ya barang yang dipakai kakek itu buat melakoni amalan sesat”
“Abah kenal kakek itu??”
“Iya kenal. Para warga di sini juga mengenalnya. Orang itu memang suka melakoni ritual-ritual aneh. Namun, warga tidak ada yang bisa menangkapnya sebab tidak ada bukti kalau dia pelaku yang meneror desa…”
Semua mengangguk faham. Namun Baim terdiam, masih ada banyak hal yang mengganjal di benaknya. Siapa sebenarnya kucing yang digendong abah yai Akom? Mengapa kemarin dia bisa mendapat penglihatan hingga kedalam hutan menuju lelaku si kakek itu? Apakah barang yang ditemukannya di sumur desa kemarin termasuk barang lelaku ritual si kakek itu?
Abah yai Akom menatap Baim dengan tersenyum, sebentar dia melihat ke arah jari Baim. Baim yang menyadari gelagat abah yai-nya itu segera mengangkat tangannya, cincinnya menghilang! Sejak kapan??
Tamat.

Komentar
Posting Komentar