My Kyai is My Hero

Karya:

A. Nail Fakhril Lathif

(Siswa kelas 9)

 


Jam diniyah telah usai. Kebanyakan santri ingin mengistirahatkan otaknya dengan cara ngopi. Ngopinya orang biasa dan ngopinya santri jelas beda. Biasanya orang ngopi ya ngopi saja sambil bercengkerama dan bergurau dengan teman-temannya.

Tetapi ngopinya santri tidak hanya tentang menyeruput kopi dan menghirup rokok, namun biasanya mereka menyelingi ngopi tersebut dengan belajar. Jadi, dengan adanya ngopi ditambah dengan belajar itu menjadi hal yang bermanfaat.

Mereka jadi berdiskusi dan adu argument. Biasanya mereka sering ngopi sambil membahas ilmu agama, seperti permasalahan fiqih, tarkib-tarkib dalam nahwu, saling simak-menyimak hafalan dan lain-lain.

Tidak hanya membahas ilmu agama. Jika mereka ada Pelajaran sekolah yang dianggap sulit maka mereka akan meminta bantuan senior-seniornya. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh santri yang mempeng (rajin) seperti Ferdy, dan Zaim. Mereka bertiga sekarang dilanda krisis imajinasi setelah mereka bertiga kemarin diberi tugas jurnalistik membuat cerpen yang harus diselesaikan minggu depan.

 “Im cerpenmu sudah beres?” tanya Ferdy santai pada temannya sampil menyeruput kopinya.

“Belum, Fer. Aku bingung ni mau buat cerpen apa” jawab Zaim.

“Berarti kita sama, Im. Aku juga masih bingung mau buat cerpen apa”

“Gimana kalau kita buat cerpen tentang cinta, seperti cerpen ‘Cinta di Ujung Pesantren’ karya Aina Ulil Mardhiyah dan  cerpen ‘Kamu’ karya A. Izza Ihya Ulumuddin yang dua-duanya ada di majalah Malibo edisi 3” saran Ferdy.

“Bagus sih, tapi aku rencananya mau bikin cerpen tentang dendamku pada pengurus, seperti cerpen ‘Firaun’ karya pak Kholil yang muncul di halaman paling belakang majalah Malibo edisi 1” tukas Zaim.

“Hei! Kalian ngapain sih? Serius banget kayaknya...” selak kang Rama yang baru datang sambil membawa secangkir kopi yang masih panas.

 “Boleh ikut gabung gak?” Rama meminta izin

“Boleh-boleh”

“Ram, dulu kamu pindahan dari pondok lain ya?” tanya Zaim memecah keheningan.

“Dulu saya mondok di MMI saat pendirinya, KH. Abdullah masih hidup” cerita Rama sambil menghirup nafas panjang karena ia mengingat kyainya itu. Seseorang yang telah memberinya segudang ilmu pengetahuan.

“Hei, apa benar katanya KH. Abdullah meninggal karena dibunuh teroris yang menyamar menjadi santri??” tanya Ferdy hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Rama.

“Iya, pada saat itu seluruh keluarga besar MMI merundung duka karena kehilangan sosok yang dijadikan teladan oleh mereka, serta yang telah memberi mereka jutaan ilmu. Beliau juga yang berhasil membawa MMI pada masa jayanya” jawab Rama. Setelahnya dia Kembali menyeruput kopinya yang masih hangat.

“Maaf ya jika perkataanku tadi menyinggungmu. Tapi apakah kamu bisa menceritakan kisah kyaimu kepada kami?”

“No Problem” Rama berlagak sok inggris untuk mencairkan suasana.

………………

Pada bulan Mei 2015 silam, seisi pondok MMI digemparkan dengan peristiwa ganjil yang melanda mereka. Tiba-tiba air yang ada di MMI semuanya berubah menjadi merah darah. Baunya juga anyir. Seluruh kamar mandi berbau darah yang menyengat. Bahkan setiap kran di lingkungan MMI kesemuanya juga mengeluarkan air merah darah.

Kami semua panik ketakutan. Tidak ada yang bisa menjelaskan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebagian dari kami ada yang berpikir kalau entah dari mana ada orang yang mengirim teluh ke pondok, ada pula yang berpikir kalau semua ini adalah perbuatan jin, dan ada pula yang berpikir kalau apa yang dilihatnya itu sebenarnya hanya imajinasi/halusinasi kami saja. Untung saja di depan pesantren ada Sungai yang airnya mengalir cukup deras dan jernih, jadi bisa kami manfaatkan.

“Terus apa air tersebut tetap menjadi darah??” tanya Zaim akhirnya, dia menyimak serius cerita Rama.

(Rama Kembali menyeruput kopinya sebelum melanjutkan ceritanya.)

Selang dua hari air di pesantren kembali normal. Kami segera gotong royong menguras kamar mandi dan membersihkannya. Suwaktu pak-pak pengurus mengecek saluran PDAM, mereka menemukan selang besi dekat meteran terlilit bungkusan besar. Baunya sangat menyengat.

Saat dibuka ternyata dalamnya ada banyak kantong darah yang isinya sudah habis, dan selangnya berlubang.

Dan terungkaplah penyebab asli di balik kejadian air darah di MMI. Namun siapa pelakunya? Saat itu kami sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun.

Kejadian ini adalah salah satu dari serangkaian kejadian-kejadian aneh yang mengiringi peristiwa terbunuhnya KH. Abdullah, kyai kami.

Ferdy dan Zaim menganggung-angguk mengerti. “Lalu, bagaimana keadaan pondok MMI setelah itu?” tanya Zaim.

Setelah kejadian itu, Sebagian santri ada yang boyong karena takut dengan pondok. Meski terbukti kalau itu semua ulah seseorang, namun para santri sudah terlanjur ketakutan.

Lalu, selang 3 hari Ketika Aratsa menyuruhku mengambil beras dan bahan-bahan makanan lainnya di gudang, sesuatu yang tak terduga terjadi.

“Aratsa itu siapa Ram??” selak Ferdy.

Aratsa temanku. Kami berdua teman sejak awal mondok dan Aratsa menjadi khodam di ndalem Pak Yai.

“Lalu, apa yang terjadi?”

Selang 3 hari setelah kejadian air darah, tepatnya sore pada hari kamis, Ketika kami akan memasak untuk makan kos santri, Aratsa menyuruhku mengambil beras. ‘Ram, ambilkan beras dan bahan-bahan lainnya di gudang’ perintahnya sambil memberikan kunci gudang.

Akupun mulai berjalan ke gudang yang lokasinya tidak jauh dari dapur. Akupun mencoba membuka gudang tersebut. Belum sempat kumasukkan kuncinya, pintu gudang sudah terdorong. Mungkin karena lapuk dan tua. Aku segera masuk kedalam.

Namun di luar prediksi, gudang tua yang sudah berusia belasan tahun itu di dalamnya tidak menyimpan satu butir beras pun dan bahan makanan apapun. Tanpa ada tanda masuknya pencuri dan juga tidak ada tanda-tanda adanya kawanan tikus yang telah menyerbu gudang.

‘Ram berasnya mana?’ tanya Aratsa. Namun lidahku tak kuasa menjawab pertanyaannya sampai ia menghampiriku. Ia pun ikut terbelalak denganku

‘Berasnya lari ke mana??’ tanyanya. ‘Lalu anak-anak harus makan apa ini?’ dia bingung aku pun juga ikut bingung.

Kupegang pundaknya sambil memberi Solusi, ‘sudah-sudah sekarang kita lapor saja ke pak Yai’ ajakku sambil memalingkan badan dan pergi menuju ndalem.

(Rama menghentikan ceritanya sejenak lalu ia meraih cangkir kopinya dan menyeruputnya lagi, mengambil sebiji tempe goreng dan memakannya perlahan. Dan ternyata di sampingnya sekarang tidak hanya zaim dan Ferdy yang menyimak, namun beberapa santri lain ikut bergabung setelah cerita yang mereka dengar ternyata sangat menarik.

Rama mengambil nafas panjang bersiap melanjutkan ceritanya. Setelah Pak Yai tahu kejadian itu, tanpa pikir panjang pak Yai langsung menyembelih salah satu kambingnya agar seluruh santri tidak kelaparan hari itu.)

2 minggu berlalu, dan kejadian itu kembali terjadi. Lebih parahnya lagi ada yang membakar kandang kambing pak Yai sampai ludes tak tersisa. Seluruh hewan ternak mati terbakar tanpa sempat terselamatkan satupun karena kejadiannya tengah malam. Sehingga persediaan makanan di pondok kini hanya bergantung pada kebun dan sawah milik Pak Yai saja.

“Tapi apa tidak ada yang tahu siapa yang melakukan semua itu?” tanya Ferdy dengan serius.

Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tapi entah siapa yang mulai menyebarkan ada desas-desus yang menyebut kalau semua itu pasti ada kaitannya dengan Pondok Ar-Rahmat yang lokasinya tidak jauh dari Pondok MMI.

Bagaimana tidak?

Hampir sepertiga populasi santri Ar Rahmat tahun kemarin berbondong-bondong pindah ke MMI mereka berpikir Rahmat iri dengan Pondok MMI sehingga sangat masuk akal jika mereka melancarkan teror ke MMI.

Semenjak desas-desus itu semakin santer terdengar, hubungan antara MMI dan Ar Rahmat menjadi renggang, sampai-sampai jika santri MMI bertemu dengan santri Ar Rahmat pasti mereka akan berselisih dan berkelahi.

Namun tak butuh waktu lama kabar tersebut pun terdengar ke telinga pengasuh pondok Ar-Rahmat.

“Lalu Kenapa saat ini hubungan MMI dengan Ar-Rahmat sangat dekat ??” tanya salah seorang santri yang ikut menyimak.

Jadi begini, setelah pengasuh pondok ar-rahmah tahu konflik yang terjadi antara santrinya dan santri MMI beliau langsung memberi bantuan ke MMI berupa beras dan bahan makanan. Beliau juga menyuruh sebagian santrinya untuk membantu menjaga sekitar kawasan Pondok MMI.

Semua yang mendengar cerita Rama tadi mengangguk-angguk sebagai tanda mereka paham dengan yang dijelaskan Rama.

Sebagian santri mulai kembali ke kamarnya masing-masing karena sudah terlalu larut malam, tetapi Zaim, Ferdy dan yang gabung dengan mereka masih bertahan di sana mendengarkan Rama bercerita. Mereka rasanya sangat rugi jika tidak mendengar dengan lengkap kisah yang nuansanya seram tapi penuh dengan pelajaran itu. Sementara Rama saat ini sebagai pencerita bersiap kembali melanjutkan ceritanya.)

Suatu malam, di jalan raya depan pondok jarang sekali ada kendaraan yang lewat saat itu. Di depan gerbang MMI sudah ada 6 santri yang ditugaskan berjaga. Tiga diantaranya adalah santri Ar Rahmat. Seharusnya malam itu giliranku berjaga dengan  Aratsa, namun 2 hari sebelumnya dia sowan ke ndalem untuk pulang .

Sampai pukul 12 an malam, semua aman-aman saja. Namun, melewati Tengah malam, tak jauh sekitar jarak 100 meter terlihat seseorang serba hitam menaiki motor dengan sangat kencang. Suara bising knalpot motor itu semakin terdengar keras dan dengan kecepatan tinggi mereka melewati Pondok MMI.

“CTARRRR”

Suara hantaman sangat keras. Seketika semuanya kaget dan memutar arah pandangan mereka ke sumber suara. Kami berenam berlari ke teras ndalem. Terlihat kaca jendela ndalem Pak Yai sudah pecah berantakan, dan kami menemukan batu sekepalan tangan yang dibungkus dengan kain putih.

Kubuka bungkusan kain tersebut, di bagian dalam bkain itubertuliskan; “Jika kau tidak tutup pondokmu maka nyawamu akan melayang!”

Tak lama kemudian Pak Yai keluar dari dalam dan bertanya apa yang terjadi. Akupun menjelaskannya pada Pak Yai, aku juga memberitahu beliau tentang ancaman dari seseorang yang tak dikenal. Lalu beliau berkata dengan tegas yang membuat hatiku bergetar dan bangga mempunyai sosok Kyai yang laksana pahlawan bagi santri-santrinya.

Beliau saat itu juga berkata; ‘Lebih baik aku mati dalam keadaan memperjuangkan agama Allah daripada aku hidup 1000 tahun dalam keadaan menyerah pada musuh Allah’.

(Rama menghentikan ceritanya sejenak lalu menghirup nafas sangat panjang sambil memejamkan matanya. Sebenarnya ia sudah tidak kuasa lagi menceritakan hari dimana meninggalnya guru yang paling ia segani itu.)

Hari Rabu di Pekan berikutnya, sebuah hari yang tidak pernah diharapkan terjadi oleh seluruh keluarga besar Pondok MMI hari dimana dibunuhnya seseorang yang menjadi teladan kami, seseorang yang telah memimpin kami selama bertahun-tahun, juga seseorang yang memberi kami bermacam-macam ilmu.

(Rama menjeda ceritanya. Ia berlinang air mata saat mulai menceritakan dibunuhnya Kyai Haji Abdullah. Ia tak kuasa menahan rasa sedihnya karena masih rindu sekali dengan sosok beliau, seseorang yang jadi panutannya itu yang sudah dianggapnya seperti ayahnya sendiri.

Dengan iring-iring tangis Rama kembali melanjutkan ceritanya, sehingga semua yaang ikut mendengarkan ceritanya jadi terbawa suasana. Mereka semua tersentuh dengan keteguhan sosok Kyai Abdullah yang berani berkorban demi menegakkan agama Allah.)

Rabu pagi saat fajar baru mewarna di langit timur, jamaah Shubuh sebentar lagi akan dimulai, seperti biasa yang menjadi imamnya ialah Pak Kyai langsung. Setelah semua santri siap, jamaah subuh pun dilaksanakan.

Aku kebetulan berada tepat di belakang imam di shaf pertama. Shalat jamaah berjalan lancar dan khusyuk sampai memasuki rakaat kedua. Setelah Pak Yai membaca surah Al Fatihah, tiba-tiba terdengar letusan berkali-kali.

“Dor dor dor”

Para santri merunduk. AKupun ikut merunduk, dan saat kami mendongak kami sudah menemukan tubuh Pak Yai lunglai terjatuh.

Ada 3 peluru yang menyasar ke perut ,bahu dan leher beliau. Tubuhnya berlumuran darah dan beliau menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan khusnul khotimah seketika itu juga.

Seluruh santri berhamburan. Yang bagian depan langsung mengerubungi Pak Yai, dan sebagiannya lainnya berlarian mencari pelaku sambil membawa amarah mereka.

Akhirnya pelaku tertangkap. Ada satu orang yang menyamar menjadi santri membawa senjata api yang masih siap untuk ditembakkan lagi di tangannya.

(Rama menghentikan ceritanya dan berusaha mengatur nafasnya Kembali. Ferdy mengelus-elus punggung Rama dan mencoba menenangkannya.)

“Sabar dan ikhlaskanlah, kyaimu Insya Allah beliau termasuk golongan orang yang ditinggikan derajatnya di sisi Allah.” Zaim menenangkan. “Lalu siapa sebenarnya pelaku dari seluruh Kejadian ini?”

Aku sebenarnya tidak pernah menduga kalau ternyata pelakunya adalah temanku sendiri. Yang kukira dia adalah sosok yang pintar dan bersahabat.

“Memangnya siapa pelakunya??”

Siapa yang akan mengira kalau ternyata yang menembak Pak Yai adalah Aratsa, temanku yang juga khodam Pak Yai sendiri!

Ketika dinterogasi oleh Polisi, dia mengaku bahwa seluruh kejadian selama 2 pekan itu adalah perbuatannya. Dialah otak pelaku dari seluruh rangkaian kejadian-kejadian yang sudah terjadi selama dua pekan ini.

Air yang menjadi darah itu adalah ulahnya dengan melubangi saluran air PDAM yang kemudian dia campur dengan darah yang dicuri dari rumah sakit. Gudang pangan dia kosongkan  dan dijual lewat belakang pondok saat ndalem Tindakan.

15 tahun yang lalu Ayah Arab sahabat profesi sebagai pengedar narkoba dan obat-obatan terlarang. Sampai suatu ketika ayah Aratsa saat berani menyelundupkan sabu-sabu ke pondok MMI. Namun ia tertangkap basah oleh Pak Yai dan diapun langsung dijebloskan ke penjara.

Namun karena penyakit yang diderita Ayah Aratsa, ia meninggal di penjara. Aratsa saat itu masih berusia 7 tahun. Dia diajari oleh ibunya agar membalaskan dendam ayahnya. Ibunya menyebut kalau kematian Ayah Aratsa adalah ulah dari Kyai Abdullah.

Semenjak itulah Aratsa mempunyai dendam luar biasa dengan Pak Yai dan dia sudah merencanakan akan masuk ke pondok dan menyusun rencananya sampai dia bisa mendekati Pak Yai, menghancurkan pondoknya dan membunuhnya.

(Cerita Rama selesai. Cerita yang luar biasa bagi mereka semua. Para santri membubarkan diri.)

“Ram, Terima kasih ceritanya!” teriak Zaim pada Rama yang telah mulai berjalan meninggalkan temannya itu.

…………………

Keesokan harinya,

Pagi hari terasa sejuk sehingga membuat para santri malas untuk bangun. Termasuk Zaim dan Ferdy. Mereka berdua masih mengerut tidur padahal 5 menit lagi sekolah akan masuk.

“Kriiiing”

Suara bel sekolah berbunyi. Kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai.

Zaim dan Ferdy geragapan, mereka berdua memaksakan bangun meski masih sangat mengantuk karena begadang tadi malam demi menyimak cerita Ferdy. Keduanya mulai mengenakan seragam mereka.

Namun kemudian mereka teringat dengan tugas membuat cerpen jurnalistik dari pak Kholil. Keduanya saling berpandangan.

“Kita jadi membuat cerpen dari cerita Rama?” tanya Ferdy.

“Memangnya masih sempat?” Zaim balik bertanya.

Karena takut dimarahi pak Kholil, keduanya sepakat untuk tidak masuk sekolah dan mbambung kembali.

(Selesai)

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilihan OSIS Baru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Semangat Kebersamaan Warnai Upacara Hari Guru di SMP Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

Upacara Hari Pahlawan 2024