Pusaka Prabu Afsya III
Karya:
Ghiyats Dz. N., M. Aldiano A. H., Afham Syakur dan M. Aufa Sy. H.
(Kelas 7)
Alfian, pemuda dari Jakarta berangkat mondok ke PP. Al Adnan. Alfian, tanpa dia tahu, sebenarnya tak lain adalah keturunan dari Prabu Afsya ke 3, dan dia harus menemukan jati dirinya agar kekuatan dan pusaka peninggalan Prabu Afsya ke 3 yang keberadaannya masih belum diketahui tidak disalah gunakan.
Setelah sampai di pondok, Alfian dan ayahnya segera menuju ndalem kyai Aufa untuk sowan. Keduanya duduk menunggu di ruang tamu. Kyai Aufa menemui mereka dan bertanya satu dua hal. Beberapa saat kemudian seorang gadis menghidangkan kopi untuk ketiganya lalu dia berjalan mundur kan Kembali ke belakang.
Namun, saat dia di dekat Alfian, tanpa sengaja kakinya terpeleset. Sontak Alfian reflek menangkapnya. Dan jadilah Alfian saling beratapan mata dengan si gadis, wajahnya cantik dan sangat pantas dengan jilbab yang dikenakannya, dan Alfian mau tak mau harus mengakui kalau dia sudah jatuh hati dengannya pada pandangan pertama itu.
“Hei! Kok gak segera dilepaskan. Dia itu Perempuan dan bukan muhrim sampean” tegur Kyai Aufa.
Alfian baru tersadar dan segera melepaskannya. Si gadis khadimah langsung mundur dan berjalan cepat kebelakang.
“Astaghfirullah, maaf Pak Kyai, saya tidak sengaja” ucap Alfian meminta maaf.
“Lain kali jangan diulangi ya”
“Enggih Pak Kyai”
Ayah Alfian hanya godek-godek dengan tingkah anaknya tersebut.
Usai sowan, Alfiang pun berpamitan dengan ayahnya yang rencananya akan langsung balik ke Jakarta. Ayahnya segera masuk mobil dan mengendarainya keluar gerbang pesantren hingga tidak Nampak lagi.
Kyai Aufa memanggil salah satu santrinya, Namanya Ghiyats yang sudah lebih dulu mondok. Kyai Aufa mengutusnya untuk mengajak Alfia ke kamarnya. Dan Alfian pun diajak Ghiyats menuju asrama. Dibantunya membawakan barang-barang bawaan, dan ternyata Alfian sekamar dengan seniornya tersebut.
Setelah menaruh barang-barang di kamar, Ghiyats mengajak Alfian untuk berkeliling pesantren. Alfian melihat-lihat dan menyimak setiap lokasi yang ditunjuk Ghiyats. Saat Ghiyats sudah menyudahi penjelasannya, Alfian bercerita kalau saat di ndalem tadi dia melihat gadis yang sangat cantik.
“Oh, mungkin tadi itu ning Syakira” tebak Ghiyats sambil masih melangkahkan kaki.
Alfian mempercepat langkahnya untuk menyusul Ghiyats. “Ning Syakira itu siapa?” tanyanya.
“Ning Syakira itu putrinya Kyai Aufa” jawab Ghiyats.
“Ooh”
Keduanya meneruskan berkeliling pesantren, setelah melewati kamar mandi putra mereka melewati lorong belakang asrama maka sampailah keduanya di depan dapur ndalem. Dan siapa sangka kalau di sana mereka bertemu ning Syakira yang baru saja mereka bicarakan.
“Kang-kang” suara ning SYakira memanggil.
“Nggih ning, ada apa?” Ghiyats mendekat sambil sedikit membungkuk. Alfian mengekor di belakang.
“Tolong carikan kayu bakar di belakang pondok dong”
“Enggih ning”
“Terimakasih kang..”
Saat akan masuk kembali ke dapur, ning Syakira baru sadar kalau di belakang Ghiyats ada seorang santri lagi. Ditengoknya dari jauh ternyata itu santri baru yang tadi nampani badannya waktu terpeleset di ruang tamu. Wajahnya langsung memerah dan cepat-cepat kembali ke dapur.
Alfian masih memandangi dapur sambil senyam-senyum. Ternyata ning Syakira grapyak dengan para santri. Sudah cantik ramah pula …
“Hei malah melamun!” tegur Ghiyats. “Ayo bantu aku mengumpulkan kayu bakar di belakang pondok”
Merekapun pergi ke belakang, melewati Gedung diniyah dan beberapa kandang ternak milik Pak Kyai. Di belakang pondok ada beberapa pohon besar yang cukup rindang, dan di bawahnya banyak bergeletakan ranting-ranting kering. Ghiyats mengajak Alfian untuk segera mengumpulkannya.
Saat sedang menata ranting-ranting kering yang sudah cukup banyak, Alfian baru tersadar kalau tidak jauh dari pesantren ada hutan yang sangat gelap.
“Yats, itu hutan apa?” tanyanya pada Ghiyats yang masih sibuk mbongkoki kayu bakar.
“Ooh itu hutan larangan” jawab Ghiyats “Jangan pernah kamu masuk kesana. Konon katanya orang yang masuk kedalam hutan itu tidak akan bisa keluar lagi”
“Ooh, iya iya” ujar Alfian.
………..
Ternyata Alfian kepikiran dengan hutan di belakang pondok. Peringatan dari Ghiyats justru membuatnya sangat penasaran. Apa yang sebenarnya ada di dalam hutan itu? Diam-diam dia menyelinap ke belakang pondok sendirian, mengambil kapak yang dia pakai mencari kau dengan ghiyat tadi pagi, lalu berjalan ke arah hutan dan tanpa ragu dia nekat masuk kedalamnya.
Saat memasuki hutan, ternyata tidak segelap saat dilihat dari kejauhan. Alfian melihat ada pepohonan yang sangat besar.
“Wah besar banget nih pohon. Buat stok kayu bakar 3 tahun pun gak bakal habis nih mah” ujar Alfian.
Tiba-tiba dia mendapat ide, jika dia menebang pohon yang paling besar dan menjadikannya kayu bakar, tentu ning Syakira akan sangat berterimakasih padanya dan itu bisa jadi kesempatan untuknya bisa dekat dengan putri Kyai Aufa tersebut.
Tanpa basa-basi Alfian langsung menebang pohon di hadapannya itu.
Saat pohon besar itu berhasil di tebang dan rubuh, tiba-tiba ada seekor harimau putih yang keluar dari dalam batangnya. Harimau putih itu berjalan kearah Alfian dan pelan-pelan berubah menjadi seorang kakek-kakek yang berambut putih dan berpakaian serba putih.
Karena terkejut dan ketakutan, Alfian pun berteriak keras dan langsung berlari kearah pondok. Namun, Alfian tidak kunjung menemukan jalan keluar. Meski begitu dia tetap terus berlari. Sampai beberapa lama, Alfian berhenti mendadak hingga terjatuh, seba tiba-tiba di hadapannya sudah ada kakek-kakek tau tadi.
“Aaaa… siapa kakek ini sebenarnya??”
“Hamba adalah Ki Ageng Aldi, salah satu abdimu, pangeran” suara kakek itu, seolah menjawab teriakan Alfian.
“Hah? Pangeran?? Aku bukan keturunan dari raja manapun…” sahut Alfian masih dalam keadaan panik.
“Sesungguhnya, hanya keturunan dari Prabu Afsya ke 3 saja yang bisa menebang pohon besar tadi” ujar kaket tersebut.
“Prabu Afsya ke 3?? ”
“Prabu Afsya ke 3 adalah raja dari Kerajaan Tanjung Emas yang adil dan bijaksana. Beliau adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan sangat dicintai rakyatnya”
Alfian diam sejenak, mengatur Kembali nafasnya dan mencoba percaya denga napa yang dilihat dan didengarnya saat ini,
“Jadi … kakek adalah abdi Prabu Afysa ke 3 dan juga abdiku??”
“Iya, pangeran” jawab kakek tersebut.
“Jika kau abdiku, maka beritahu aku di mana jalan keluar dari hutan ini” kata Alfian sembari pelan-pelan berdiri Kembali.
“Jalan keluar dari hutan ini ada di Selatan, pangeran”
Tanpa basa-basi Alfian langsung berlari kearah yang ditunjuk si kakek. Dan benar, dia menemukan jalan keluar dan langsung berlari keluar. Dilemparnya kapaknya ke kendang ayam lalu berlari ke asrama dana tidur. Diyakinkannya dirinya kalau semua ini hanyalah mimpi.
Saat tidur, Alfian bermimpi didatangi 2 orang, yang satu kakek yang mengaku Ki Ageng Aldi yang sebelumnya sudah menemui saya. Sedang satunya lagi ia sama sekali belum pernah melihatnya. Alfian menanyai siapa dia?
“Alfian cucuku, kemarilah” ujar orang itu, seorang laki-laki berbadan tinggi kekar berbaju emas.
“Apakah kau Prabu Afsya ke 3??” tanya Alfian.
“Benar, cucuku” jawab laki-laki itu “Aku adalah Prabu Afsya ke 3”
Alfian terbangun. Badannya mandi keringat, seolah mimpi yang barusan dia lihat benar-benar nyata. Dia segera keluar dan berjalan menuju toilet untuk mencuci mukanya.
Dari kejauhan, Kyai Aufa keluar ndalem dan mau Tindakan ke undangan kondangan di kampung sebelah. Tanpa sengaja dia melihat Alfian, si santri baru sedang berjalan menuju toilet pondok. Dia kaget sebab di belakang Alfian nampak seekor harimau putih yang mengekor mengikutinya. Namun para santri lain nampak acuh seolah sama sekali tidak melihat keberadaan harimau putih yang mengikuti Alfian itu.
Keesokan harinya, Alfian ditimbali ke ndalem. Alfian segera bersiap dan berjalan ke ndalem depan. Saat masuk ke ruang tamu, ternyata Kyai Aufa sudah menunggunya. Segera dia berjalan mendekats embari agak membungkuk lalu duduk bersimpuh di hadapan kyainya tersebut.
“Yan, kamu tahu Prabu Afsya ke 3?” tanya Kyai Aufa tiba-tiba.
Alfian terperanjat kaget. Bagaimana beliau bisa tahu nama itu? Dan mengapa beliau tiba-tiba menanyaiku? Piker Alfian.
“Enggih, Yai” jawab Alfian “Saya tadi malam bermimpi ditemui dua orang. Mereka mengaku bernama Ki Ageng Aldi dan Prabu Afsya ke 3, yai”
Kyai Aufa mengangguk-angguk mendengar cerita santrinya tersebut.
“Ya benar. Berarti kamu keturunan dari Prabu Afsya ke 3” ujar Kyai Aufa. Lalu dia mengambil sesuatu dari almari ndalem kemudian menyodorkannya ke depan Alfian “Ini pusaka peninggalan Prabu Afsya ke 3”
Pusaka itu berupa kalung dari kuningan, di bandulnya berupa koin dengan gambar harimau.
“Pak Kyai dapat pusaka ini dari mana??”
“Dulu, pusaka ini kudapatkan dari guruku. Beliau berkata kalau kelak aka nada keturunan dari Prabu Afsya ke 3 yang akan nyantri dan beliau menyuruhku untuk memberikan pusaka ini”
Setelah menerima pusaka itu Alfian dipersilahkan untuk keluar ndalem. Dia segera berjalan ke dekat gerbang dan mencari tempat yang sepi. Dikeluarkannya kalung itu dari sakunya kemudian mencoba mengenakannya dan menyembunyikannya di balik baju.
Tepat setelah mengenakan kalung pusaka, Alfian tiba-tiba dapat merasakan berbagai hawa keberadaan. Hawa kebaikan dan juga hawa kejahatan. Alfian merasakan ada hawa kejahatan yang sangat kuat dari arah utara pondok. Segera dia berlari keluar menuju jalan raya lalu mempercepat larinya ke utara.
Sesampainya di sana dia melihat ada keributan besar. Orang-orang berteriak dari kejauhan, sedang di toko emas terdengar suara barang-barang pecah. Ternyata ada perampokan di toko Sinar Mas! Tanpa piker panjang Alfian berlari mendekat ke toko.
“Hei! Hentikan perompakan ini!” teriak Alfian.
“Siapa kamu menuyuruh berhenti kami??” Hardik salah satu perampok. Ada 5 orang, dan semuanya bersenjata tajam.
“Aku Alfian, santri Kyai Aufa”
“Ooh muridnya Aufa? Lu cari mati??”
Kelima orang itu menerjang kearah Alfian dengan garang. Orang-orang yang melihat itu menjerit ketakutan. Namun, entah mengapa bagi Alfian Gerakan mereka berlima sangat pelan, bahkan lebih cepat bekicot dari mereka. Apakah ini sebab pusaka dari Kyai Aufa?
Seorang perampok menebaskan celuritnya kea rah leher Alfian, namun dengan santai Alfian mengelak, meraih tangannya lalu menendangnya keras-keras. Badan perampok itu dibuatnya terbang hingga ke trotoar depan toko.
Dua orang lain menyerang dari kiri dan kanan. Alfian langsung melangkah mundur kemudian menghujamkan tinjunya ke kanan dan kiri. Kedua perampok itu mengerang kesakitan lalu ambruk.
Melihat tiga rekannya sudah tumbang, dua perampok yang tersisa saling berpandangan lalu kabur.
Keesokan harinya, ada banyak warga kampung berbondong-bondong masuk ke pesantren dengan membawa sayur-mayur dan buah-buahan hasil panen. Semua itu mereka berikan pada Alfian sebagai ungkapan terimakasih sudah mengusir para perampok dari lingkungan mereka.
“Tidak usah pak buk, saya menolong dengan Ikhlas kok kemarin”
“Tidak apa-apa Alfian, terima saja ungkapan terimakasih dari kami” ujar salah satu warga tersebut.
“Ya sudah, tapi sayur-sayuran dan buah-buahan ini mau ditaruh di mana?” Alfian garuk-garuk kepala.
“Taruh saja di Gudang Selatan pondok”
Semua menoleh. Di belakang Alfian sudah ada Kyai Aufa. Alfian segera berpindah tempat agar tidak membelakangi. Kyai Aufa tersenyum ramah.
Lalu Alfian dan para warga ngusungi sayur dan buah-buahan ke Gudang yang dimaksudkan Kyai Aufa.
“Terimakasih ya pak buk, sayur dan buah-buahan ini sangat bermanfaat untuk para santri” ucap Alfian sembari menyalami satu-persatu warga.
“Iya, kami memberikan ini semua dengan Ikhlas. Semoga bermanfaat”
Dan tak perlu waktu lama, kabar tentang aksi heroik Alfian langsung santer terdengar, baik di perkampungan apalagi di lingkungan pesantren. Selain terkenal dengan keahlian beladirinya, Alfian juga dikenal sering membantu semua orang. Bahkan dia saat ini mampu menyadarkan orang yang kejingan dan membersihkan teluh. Apalagi Alfian sangat dekat dengan Kyai Aufa, bahkan sudah beredar kabar kalau Kyai Aufa telah menyiapkan Alfian sebagai calon suami ning Syakira.
3 malam kemudian, saat seluruh warga PP. Al Adnan telah terlelap tidur, Alfian geragapan terbangun sebab merasakan hawa kejahatan yang sangat besar. Segera dia berlari keluar kamar dan mencari sumber hawa kejahatan tersebut.
Dari arah Selatan. Alfian berlari dan menemukan di depan Gudang Selatan, tempat penyimpanan sayur mayur dan buah-buahan hadiah para warga, ada banyak sekali orang tak dikenal. Mereka berpakaian preman dan kesemuanya menenteng senjata tajam. Bahkan dua diantaranya sedang menggotong jerigen besar. Dari baunya nampaknya berisi bensin. Mereka berniat akan membakar Gudang pondok!
Alfian masih mengenali dua orang itu. Bukankah mereka 2 orang perampok yang kemarin kabur meninggalkan 3 rekan mereka di Sinar Mas??
“Hei!! Mau apa kalian?!” bentak Alfian.
“Itu orangnya! Bunuh dia!” teriak salah satu perampok itu, lalu sekitar 20 an orang yang sudah beriap berlari menerjang kea rah Alfian. Baku hantam hebat pun terjadi antara Alfian melawan keroyokan besar itu.
Namun, berkat kesaktian yang diperolehnya dari pusaka Prabu Afsya ke 3, Alfian menumbangkan satu persatu dari mereka semua. Bahkan di antaranya ada yang berteriak-teriak melihat ada harimau putih yang menerjang dengan ganas membantu Alfian.
Hanya dalam waktu 15 menit, lebi dari separuh penyerang sudah tumbang. Sisa penyerang sudah ragu untuk maju. Mereka tidak hanya ketakutan dengan kesaktian Alfian, namun juga dibuat bergidik dengan seekor harimau putih besar yang menatap tajam mereka dari belakang santri itu.
Kegaduan dari arah Gudang membangunkan banyak santri. Mereka berbondong-bondong menuju ke sumber suara sembari membawa bang kayu, besi dan apapun yang bisa mereka temukan. Semakin lama semakin banyak santri yang datang. Jadinya para penyerang itu yang saat ini malah terkepung.
Mereka saling berpandangan dan sudah tidak ada keberanian lagi untuk melawan. Semuanya membuang senjata mereka dan menyatakan menyerah. Para santri dengan sigap menangkap dan mengikat mereka semua, termasuk banyak penyerang yang sudah tumbang.
Kyai Aufa datang bersama para khadam ndalem. Ning Syakira juga Nampak ikut serta bersama beberapa mbak khadimah.
“Siapa mereka, Yan??” tanya Kyai Aufa mendekati Alfian.
Alfian mundur sedikit “mereka teman-teman perampok yang kemarin saya kalahkan di Sinar Mas, kyai” jawabnya “nampaknya mereka mau menuntut balas. Mereka hamper berhasil mau membakar Gudang ”
“Alhamdulillah masih bisa kamu cegah. Terimakasih, saya sangat mengapresiasi apa yang sudah kamu lakukan untuk pondok ini”
“Enggih, Kyai”
…………………….
Tiga tahun berlalu. Meski Alfian sering berkeliling untuk membantu Masyarakat, namun dia tetap bermukim di PP. Al Adnan. Kyai Aufa sendiri membebaskan dia untuk memanfaatkan kelebihannya, apalagi jika memang itu sangat bermanfaat untuk kalangan luas.
Setelah dirasa santrinya itu sudah siap, Kyai Aufa segera menimbalinya ke ndalem dan ia sampaikan maksudnya untuk menikahkan Alfian dengan putri semata wayangnya, Ning Syakira yang baru saja menyelesaikan hafalan Qur’annya. Tentu saja dalam hati Alfian kegirangan . Namun Alfian menahan diri dan berpura-pura menanggapinya dengan tenang.
“Enggih, Kyai. Kulo ndereaken”
(Selesai)
).png)
Komentar
Posting Komentar